- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam Politik dan Kemanusiaan

Google Search Widget

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah memiliki berbagai aspek kehidupan yang patut dipelajari dan diteladani. Dari perspektif politik, Nabi Muhammad diakui memiliki kualitas kepemimpinan yang luar biasa, sehingga Michael H. Hart menempatkan beliau di urutan teratas dalam bukunya, The 100: A Ranking of the Most Influential in History. Kepemimpinan Nabi Muhammad tidak hanya berlandaskan ajaran agama, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Berkat kepemimpinannya, masyarakat Madinah yang heterogen dapat hidup berdampingan.

Sejarah kenabian Nabi Muhammad dibagi menjadi dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Untuk memahami politik Nabi Muhammad, penting untuk melihat perjalanan beliau di kedua fase tersebut. Pada fase Makkah, perjalanan politik Nabi Muhammad ditandai dengan peristiwa Baiat Aqabah I dan Baiat Aqabah II, yang menjadi legitimasi dari penduduk Madinah—diwakili oleh suku Aus dan Khazraj—kepada Nabi Muhammad sebagai pemimpin mereka. Kegiatan politik di Makkah cukup minim karena beliau lebih fokus pada dakwah untuk menghapus paham paganisme.

Memasuki fase Madinah, peristiwa-peristiwa sejarah setelah hijrah Nabi Muhammad ke Madinah menjadi artikulasi pelaksanaan politik Islam. Menurut Prof. Ahmad Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, pelaksanaan politik Islam Nabi Muhammad terkait dengan persaudaraan internal kaum Muslimin (al-ukhuwah al-Islamiyah) antara Sahabat Muhajirin dan Anshar, serta perjanjian eksternal antara Muslim dan non-Muslim (al-ukhuwah al-insaniyah). Meskipun kekuasaan dipegang oleh kaum Muslimin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non-Muslim, yang masih diberi kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan mereka.

Selama satu dekade, Nabi Muhammad berhasil membangun peradaban di Madinah, hingga Islam tersebar dengan damai ke wilayah lain seperti Syam dan Ethiopia. Keberhasilan ini tak lepas dari kemampuan politik Nabi Muhammad, serta budi pekerti dan kebijaksanaan beliau dalam menghadapi berbagai persoalan di berbagai lini, baik agama, sosial, maupun politik. Beberapa kebijakan politik Nabi Muhammad yang patut diteladani selama memimpin kota Madinah antara lain:

Pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Pembangunan masjid setelah kedatangan Nabi Muhammad di Madinah merupakan salah satu upaya untuk menyatukan suku Aus dan Khazraj yang baru saja berdamai. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang publik untuk memecahkan berbagai persoalan umat.

Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas yang tidak memiliki pertalian darah, antara komunitas Islam Makkah yang baru berhijrah dan penduduk Madinah yang menjadi kaum Muhajirin dan Anshar. Kebijakan ini bertujuan menanamkan prinsip ukhuwah Islamiyah dan membentuk ikatan baru berdasarkan iman, persaudaraan, dan gotong royong.

Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda dalam masyarakat majemuk. Dalam memimpin masyarakat Madinah yang heterogen, Nabi Muhammad bermusyawarah dengan berbagai komunitas penting di Madinah sehingga terbentuklah Piagam Madinah. Perjanjian ini merupakan konsensus seluruh penduduk Madinah untuk saling mendukung, menghargai, dan bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang damai.

Keempat, membentuk angkatan perang untuk menghadapi ancaman dari kafir Quraisy Makkah. Kabar tentang berdirinya Islam di Madinah menarik perhatian dua peradaban besar saat itu, Romawi dan Persia. Dalam kondisi ini, Nabi Muhammad membangun pasukan militer untuk melindungi masyarakat Madinah dari serangan luar.

Selain hal-hal di atas, masih banyak sikap politik Nabi Muhammad yang patut dicontoh. Ketika menerima kritik dan saran dari para Sahabat, beliau mempertimbangkannya dengan baik sebelum mengambil keputusan. Sebagai contoh, dalam perang Badar, Nabi Muhammad menyetujui saran Al-Hubbab bin Mundzir untuk berpindah ke lokasi yang lebih strategis meskipun sudah memberikan perintah awal.

Di akhir hayatnya, Nabi Muhammad tidak mewasiatkan seorang pun di antara sahabatnya untuk menjadi penerus. Pengganti beliau diserahkan sepenuhnya kepada kehendak umat sendiri. Poin penting dari kepemimpinan Nabi Muhammad adalah bahwa dalam mengatur masyarakat, beliau tidak menerapkan syariat Islam secara formalistik, tetapi melalui nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat.

Kekuasaan Nabi Muhammad tidak hanya diarahkan untuk melindungi kepentingan masyarakat Muslim semata, tetapi juga untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat Madinah, baik yang beragama Islam maupun non-Islam. Sikap dan etika politik yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad perlu dicontoh oleh setiap Muslim yang ingin menjadi pemimpin, baik dalam skala kecil seperti keluarga maupun dalam skala besar seperti pemimpin negara.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?