- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Akhlak Mulia Rasulullah sebagai Teladan Umat Islam

Google Search Widget

Islam sebagai agama yang paripurna tidak hanya menekankan pada aspek ritual ibadah, tetapi juga mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk ibadah, transaksi (muamalah), dan interaksi sosial. Terdapat tiga aspek penting dalam Islam: syariat, yang berfungsi menilai perilaku manusia; aqidah, yang berfungsi menilai keyakinan manusia; dan akhlak, yang berfungsi menilai budi pekerti manusia. Fokus pembahasan kali ini adalah pada aspek akhlak, khususnya jejak akhlak Rasulullah saw.

Pembahasan akhlak tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Islam pada masa awal dakwah Rasulullah. Islam datang dengan semangat revolusi yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai kemanusiaan. Akhlak menjadi fondasi yang kuat, menjadikan Islam sebagai agama yang bermartabat.

Rasulullah diutus dengan misi untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Artinya, “Sesungguhnya, aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR Ahmad).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad lahir sebagai pembawa Islam yang penuh rahmat dan perbaikan akhlak. Peradaban semakin berkembang, menjadikan Islam diminati oleh banyak kalangan. Penolakan yang ada umumnya bukan karena ketidaksenangan terhadap akhlak Rasulullah, melainkan karena fanatisme pada keyakinan sebelumnya atau kepentingan tertentu.

Dengan akhlak yang mulia, Rasulullah menjadi kebanggaan masyarakat Arab. Penyebaran Islam menjadi lebih mudah, dan orang-orang tidak merasa canggung untuk menyatakan niat masuk Islam. Allah swt memuji Rasulullah dalam Al-Qur’an:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al-Qalam: 4).

Dari dua dalil tersebut, kita dapat memahami bahwa Rasulullah saw adalah teladan umat Islam dengan akhlak yang memadukan pemenuhan hak-hak Allah dan penghargaan terhadap sesama manusia. Beliau tidak hanya mendapatkan pujian dari Allah swt, tetapi juga diakui oleh masyarakat Arab sebagai orang yang sopan dan jujur.

Potret akhlak mulia Rasulullah dapat dilihat melalui riwayat dari Sayyidah Siti Aisyah:

سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ خُلُقِ رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَتْ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا، وَلَا صَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ

Artinya, “Aku (Abdullah al-Jadali) bertanya kepada Sayyidah Aisyah perihal akhlak Rasulullah, maka Siti Aisyah menjawab, Rasulullah bukanlah pribadi yang keji dan berbuat keji. Ia tidak pernah berteriak di pasar, ia (juga) tidak membalas keburukan dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan berlapang dada.” (HR Tirmidzi).

Keindahan akhlak dan budi pekerti Rasulullah juga terlihat ketika terjadi pertikaian dalam pemugaran Ka’bah mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad. Semua kabilah ingin menjadi perwakilan untuk meletakkannya. Ketegangan semakin meningkat hingga hampir terjadi pertumpahan darah. Namun, Abu Umayyah bin al-Mughirah mengusulkan agar keputusan diserahkan kepada orang pertama yang masuk masjid dari pintu Masjidil Haram.

Allah swt menghendaki sosok pertama itu adalah Rasulullah Muhammad saw:

وَشَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ، فَلَمَّا رَأَوْهُ هَتَفُوْا هَذَا الْأَمِيْنُ، رَضِيْنَاهُ هَذَا مُحَمَّدٌ

Artinya, “Atas kehendak Allah, ternyata orang yang pertama masuk adalah Rasulullah. Mereka segera berseru, itu al-amin (dapat dipercaya), kami rela (dia yang meletakkan), dia adalah Muhammad” (Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rahiqul Makhtum).

Kisah ini menunjukkan bagaimana akhlak mulia dapat meredakan pertikaian yang hampir menyebabkan pertumpahan darah. Kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya ingin menjadi perwakilan langsung ridha jika Nabi Muhammad menjadi perwakilan mereka semua.

Akhlak mulia Rasulullah seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam dalam menyampaikan dakwah. Penting untuk menyadari bahwa Islam sangat menjunjung tinggi moralitas. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah swt:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya’: 107).

Rahmat ini mencerminkan pentingnya ilmu pengetahuan tentang agama Islam tidak dijadikan alat untuk memecah belah umat. Persatuan adalah salah satu pilar dalam Islam dan kekuatan utama dalam menjunjung nilai-nilai persaudaraan. Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi menegaskan bahwa ilmu syariat seharusnya tidak digunakan untuk propaganda atau perpecahan:

فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ وَالْمَعْرِفَةُ بِشَرَائِعِ اللهِ سَبَباً فِيْ الفُرْقَةِ وَالْخِلَافِ

Artinya, “Maka tidak sepatutnya ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan”.

Menyebarkan ajaran Islam harus dilakukan dengan cara yang mengedepankan kesopanan dan penuh rahmat sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Keberhasilan dakwah Rasulullah pada masa awal sangat dipengaruhi oleh akhlak mulia dan budi pekerti luhur, sehingga banyak masyarakat tertarik dengan risalah yang dibawanya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?