Imam Bukhari meriwayatkan melalui Aisyah, istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa pada masa jahiliyah terdapat empat jenis pernikahan.
Pertama, pernikahan yang dikenal saat ini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, diikuti dengan pembayaran mahar dan pelaksanaan akad nikah.
Kedua, seorang suami dapat memerintahkan istrinya untuk menikah (berhubungan) dengan orang lain setelah ia suci dari haid. Jika istrinya hamil, ia akan kembali kepada suaminya. Praktik ini bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang baik.
Ketiga, sekelompok lelaki, kurang dari sepuluh orang, menggauli seorang wanita. Setelah wanita tersebut melahirkan, ia akan memanggil semua anggota kelompok tersebut dan menunjuk salah satu di antara mereka untuk dinisbahkan sebagai ayah anak itu, tanpa bisa mengelak.
Keempat, hubungan seksual yang dilakukan oleh wanita tunasusila yang memasang tanda di kediaman mereka, memungkinkan siapa pun untuk berhubungan dengan mereka. Islam kemudian datang dan melarang semua bentuk pernikahan tersebut, kecuali cara yang pertama.
Dengan datangnya risalah Islam melalui Nabi Muhammad, perempuan memperoleh tempat yang terhormat dan perannya dalam masyarakat meningkat. Syariat pernikahan yang disampaikan oleh Nabi bertujuan untuk menjaga dan melindungi jiwa, raga, serta martabat perempuan.
Hubungan Nabi Muhammad dengan istri-istrinya adalah contoh hubungan yang terhormat dan mulia. Sejarah kehidupan beliau menunjukkan bahwa belum ada orang yang dapat menghormati wanita seperti Nabi Muhammad. Beliau juga menjadi sosok yang mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisaa’: 3)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’: 129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Rasulullah menikah dengan semua istrinya. Masyarakat pada waktu itu diberi batasan jumlah istri hingga empat orang. Sebelum turunnya ayat ini, tidak ada pembatasan jumlah istri. Hal ini juga menggugurkan anggapan bahwa Rasulullah membolehkan dirinya sendiri untuk memiliki lebih dari satu istri namun melarang orang lain.
Selanjutnya, ayat yang memperkuat pentingnya satu istri dianjurkan agar tidak terjadi ketidakadilan. Hal ini ditekankan dengan peringatan bahwa berlaku adil itu sangat sulit untuk dilakukan.