Peristiwa Fathu Makkah merupakan salah satu momen paling monumental dalam sejarah rekonsiliasi, di mana Nabi Muhammad saw bersama sekitar 10.000 pasukan memasuki Kota Makkah dengan memberikan jaminan keselamatan kepada penduduknya. Dalam konteks sejarah, sulit untuk menemukan gerakan rekonsiliasi yang secepat ini dalam Islam. Fathu Makkah terjadi pada tahun 8 H, delapan tahun setelah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar ra meninggalkan kota ini secara sembunyi-sembunyi, beristirahat di Gua Hira untuk menghindari ancaman dari kaumnya.
Pada malam hari, Rasulullah saw dan Abu Bakar ra meninggalkan gua tersebut dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Mereka melewati padang pasir yang gelap dan beristirahat di siang hari untuk menghindari pengejaran. Sekitar delapan tahun kemudian, Nabi Muhammad saw kembali ke Makkah dan menaklukannya dengan cara yang penuh amanah. Ia datang bukan hanya sebagai penakluk, tetapi juga sebagai sosok yang menjamin keselamatan jiwa dan harta penduduk kota yang ditaklukkannya.
Jaminan keselamatan ini, termasuk kehormatan tokoh-tokoh terpandang seperti Abu Sufyan, menunjukkan sikap yang tidak biasa dalam tradisi pendudukan yang sering kali diwarnai dengan eksekusi atau perampasan. Peristiwa ini menjadi contoh luar biasa dalam sejarah bangsa-bangsa di seluruh dunia. Jaminan yang diberikan bukan hanya berdasarkan hubungan keluarga atau ikatan emosional, tetapi karena misi kenabian yang diemban oleh Rasulullah saw.
Sebelum peristiwa ini, banyak orang mengira Nabi Muhammad saw akan membalas dendam kepada pemuka Quraisy. Kekhawatiran tersebut terungkap dalam pernyataan bahwa tidak ada orang terpandang di Makkah yang akan selamat. Namun, ketika Nabi Muhammad saw naik ke Bukit Shafa, para Anshar datang dan melakukan tawaf bersamanya.
Abu Sufyan, sebagai pemuka Quraisy dan musuh Islam pada masa itu, merasakan kekhawatiran yang mendalam. Pada malam sebelum pengepungan, Rasulullah saw memerintahkan pasukannya untuk menyalakan api yang menerangi lembah Makkah. Dalam riwayat Bukhari, Saad bin Ubadah ra yang memegang bendera Anshar menyatakan dengan percaya diri bahwa hari itu adalah hari pembantaian. Namun, saat bertemu dengan Rasulullah saw, Abu Sufyan mempertanyakan apakah kaum Quraisy akan dihabisi.
Rasulullah saw menjawab dengan tegas bahwa hari itu adalah hari kasih sayang, di mana Allah memuliakan bangsa Quraisy. Beliau kemudian menyerukan agar siapa saja yang masuk ke rumah Abu Sufyan, meletakkan senjatanya, atau menutup pintu rumahnya akan dijamin aman.
Dengan rendah hati, Nabi Muhammad saw berjalan di Makkah tanpa menunjukkan kesombongan atas kemenangan di hadapan musyrikin yang tak berdaya. Dalam riwayat Al-Baihaqi, ketika orang-orang berkumpul di masjid, Rasulullah saw bertanya tentang apa yang akan dilakukannya terhadap mereka. Mereka menjawab dengan penuh harap bahwa beliau akan memberikan kebaikan. Dengan tegas, Rasulullah saw menyatakan bahwa mereka semua bebas dan aman.
Kisah Fathu Makkah adalah contoh luar biasa tentang bagaimana rekonsiliasi dapat dicapai melalui kebijaksanaan dan kasih sayang, meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah umat manusia.