Setelah dua kekuatan politik yang menjadi ancaman bagi dakwah Rasulullah SAW dan umat Islam, yaitu kaum Quraisy dan Yahudi, perhatian selanjutnya tertuju pada bangsa Arab Badui yang tinggal di gurun. Mereka sering membuat kerusuhan dan perampokan, sehingga menimbulkan ketidaktenangan di kalangan umat Islam. Untuk mengatasi situasi ini, Rasulullah SAW dan beberapa sahabat sepakat untuk berperang dengan mereka. Peperangan ini lebih dikenal sebagai Perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada Muharram tahun keempat atau kelima hijriyah.
Menurut Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, perang ini dipicu oleh pengkhianatan suku-suku Najd yang menyebabkan terbunuhnya 70 sahabat yang ditugaskan Rasulullah SAW sebagai juru dakwah. Rasulullah SAW kemudian bergerak untuk memerangi Suku Muharib dan Tsa’lab. Abu Dzarr al-Ghifari ditugaskan untuk tetap di Madinah. Setibanya di Nakhl, daerah Najd milik Bani Ghathfan, Rasulullah SAW dan pasukannya mendirikan markas. Namun, Allah menanamkan rasa takut pada suku-suku pengkhianat tersebut, sehingga mereka memilih untuk menjauh dari pasukan Rasulullah meskipun jumlah mereka cukup banyak, sehingga tidak terjadi kontak senjata.
Setiap peperangan yang diikuti Rasulullah SAW dan para sahabat memiliki nama khusus. Penamaan Dzatur Riqa sendiri memiliki makna tersendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nama tersebut berasal dari kondisi para sahabat yang terluka selama perjalanan. Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari bahwa mereka yang berjumlah enam orang terpaksa bergantian menunggangi unta, dan banyak luka yang mereka alami pada telapak kaki. Mereka membalut kaki-kaki yang terluka dengan sobekan kain, sehingga peperangan ini disebut Dzatur Riqa (yang memiliki banyak sobekan kain).
Ada pula riwayat lain yang menunjukkan bahwa penamaan ini berkaitan dengan kelemahlembutan Rasulullah SAW setelah peristiwa tersebut. Ketika beliau merasa lelah setelah perjalanan pulang dari perang, beliau beristirahat di bawah pohon. Di saat itu, seorang Badui berusaha membunuhnya, tetapi tidak berhasil. Dalam hadits, Jabir bin Abdullah mengisahkan bagaimana seorang musyrik mengambil pedang Rasulullah SAW ketika beliau tidur, tetapi Allah menjaga beliau dari bahaya tersebut.
Perang Dzatur Riqa meskipun tidak melibatkan kontak senjata, menyimpan banyak pelajaran penting. Syekh Ramadhan al-Buthi menekankan beberapa hikmah dari peristiwa ini. Pertama, ujian berat yang dialami para sahabat dalam menyampaikan risalah Allah menunjukkan betapa besar cobaan yang mereka pikul. Meskipun dalam keadaan fakir dan tidak memiliki harta, mereka tetap menjalankan tugas dakwah dengan penuh semangat dan tidak menyerah meskipun kaki mereka terluka.
Kedua, perlindungan Allah kepada Rasul-Nya terlihat jelas dalam peristiwa tersebut. Ketika seorang musyrik berusaha menyerang Rasulullah SAW, Allah menanamkan rasa gentar dalam diri orang tersebut sehingga ia tidak dapat melaksanakan niat jahatnya. Ini menunjukkan bagaimana Allah menjaga utusan-Nya dari bahaya.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita akan janji Allah dalam Al-Qur’an bahwa Allah memelihara Rasulullah SAW dari gangguan manusia. Meskipun ada ancaman, Allah tidak membiarkan tangan-tangan jahat menyentuh beliau dalam usaha menghentikan dakwah Islam.
Rangkuman sejarah Perang Dzatur Riqa menunjukkan bahwa meskipun tidak ada kontak senjata dan korban jiwa, perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat sangat berarti dalam sejarah dakwah Islam.