Dalam Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, terdapat pembahasan mengenai sejarah tahun baru Islam dalam Bab Tarikh. Terdapat perdebatan mengenai awal penetapan tahun baru Islam yang menarik perhatian banyak kalangan. Salah satu riwayat yang dikemukakan oleh Al-Hakim menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw tiba di Madinah dan memerintahkan penulisan sejarah pada bulan Rabiul Awwal. Namun, riwayat ini dianggap lemah karena terdapat masalah pada jalur sanadnya.
Pendapat yang lebih umum diterima adalah bahwa penetapan awal tahun baru Islam terjadi pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar bin Khattab ra, setelah masa kepemimpinan sahabat Abu Bakar ra. Para sahabat menetapkan awal tahun baru Islam berdasarkan peristiwa hijrah, yang diabadikan dalam firman Allah mengenai pembangunan Masjid Kuba. Istilah “La masjidun ussisa alat taqwā min awwali yawmin” merujuk pada masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, yang tidak berarti hari pertama secara mutlak, tetapi hari di mana Nabi Muhammad saw dan umat Islam beribadah dengan aman serta membangun masjid sebagai rumah ibadah.
Kesepakatan para sahabat menetapkan peristiwa hijrah sebagai awal mula penanggalan kalender tahun baru Islam. Mereka sepakat bahwa “awwali yawmin” pada Surat At-Taubah ayat 108 merujuk pada hari ketika Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya memasuki Kota Madinah. Sahal bin Sa’ad mencatat bahwa para sahabat tidak menghitung hari kenabian atau hari wafat Nabi Muhammad saw sebagai awal tahun baru Islam, melainkan dari hari kedatangan beliau di Madinah.
Al-Hakim juga menyoroti kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang menghitung tahun bukan dari kedatangan Nabi ke Madinah, tetapi dari tahun wafat beliau. Ini menunjukkan adanya kelalaian yang perlu diingat kembali. Meskipun tidak ada keterangan pasti mengenai bulan kedatangan Nabi Muhammad saw ke Madinah, sejarah tetap dihitung dari awal tahun.
Terdapat empat opsi yang dipertimbangkan oleh para sahabat untuk menentukan awal tahun baru Islam: waktu kelahiran Nabi, waktu pengangkatan kenabian, waktu hijrah ke Madinah, dan waktu wafat. Banyak sahabat merasa bahwa waktu hijrah adalah pilihan yang lebih pasti, sementara waktu kelahiran dan pengangkatan kenabian masih diperdebatkan. Mereka menghindari waktu wafat karena hanya membawa kesedihan, sehingga penetapan tahun baru jatuh pada peristiwa hijrah.
Para sahabat bertekad untuk berhijrah pada bulan Muharram, dengan baiat atau perjanjian untuk berhijrah dilakukan pada pertengahan Dzulhijah sebagai langkah awal. Bulan hilal pertama yang tampak setelah baiat jatuh pada bulan Muharram, menjadikan bulan ini relevan sebagai awal tahun baru Islam.