Dalam kajian sejarah Islam, terdapat pemikiran yang menekankan pentingnya rekonsiliasi damai antar umat beragama. Ahmad Ma’mur Asiry, dalam karyanya “Mujir al-Tarikh al-Islami min ‘Ahdi Adam ila ‘Ashrina al-Hadlir,” menggambarkan situasi di Madinah pada masa Rasulullah SAW. Di kota tersebut terdapat tiga golongan utama: kaum Muslimin, orang Arab non-Muslim, dan kaum Yahudi (Bani Nadlir, Bani Quraidhah, dan Bani Qainuqa). Untuk menyatukan mereka, Rasulullah SAW mengeluarkan Piagam Madinah yang menjadi dasar bagi keamanan harta benda dan keselamatan jiwa, serta menciptakan suasana saling tolong-menolong dan toleransi.
Dalam manuskrip “al-Siyasatu al-Syar’iyyah,” dijelaskan bahwa jaminan keamanan dan keselamatan jiwa tidak dibangun di atas akad dzimmah (perlindungan bagi mereka yang tunduk pada pemerintahan Islam), melainkan melalui akad mu’ahadah (kesepakatan untuk hidup bersama secara damai) tanpa adanya kewajiban untuk membayar upeti. Hal ini menunjukkan bahwa relasi sosial antarmanusia seharusnya berlandaskan pada perdamaian.
Syekh Mahmud Abu Zahrah menegaskan bahwa prinsip dasar dari relasi sosial adalah damai, dan perang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat untuk membela diri. Jika gencatan senjata dilakukan, maka kebutuhan untuk berperang akan berkurang. Pendapat ini sejalan dengan pandangan sejarawan Nadiyah Syarif al-Umary yang menyatakan bahwa peperangan dalam Islam hanyalah sarana untuk melindungi dakwah dan bukan tujuan utama dari relasi antarumat beragama.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya rekonsiliasi damai ini wajib dilakukan oleh Muslim dalam kondisi mayoritas atau minoritas. Hal ini penting karena ada anggapan bahwa hubungan antara penganut agama yang berbeda selalu bersitegang.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jika pihak lawan telah berhenti dari permusuhan, maka tidak ada lagi perlawanan yang bisa dilakukan kecuali terhadap pihak-pihak yang berbuat aniaya. Dalam konteks ini, Allah SWT menegaskan bahwa peperangan hanya diperbolehkan terhadap mereka yang melanggar perjanjian dan berlaku khianat.
Dengan demikian, sikap toleransi umat Islam harus selalu berpegang pada prinsip damai dan keselamatan, baik ketika mereka berada dalam posisi minoritas maupun mayoritas. Izinnya untuk berkonfrontasi dengan pihak-pihak tertentu hanya berlaku bagi mereka yang melawan dakwah Islam dan menghalangi orang lain untuk masuk ke dalam agama Allah. Sehingga, perjuangan untuk menciptakan hubungan harmonis antar umat beragama tetap menjadi prioritas utama dalam kehidupan masyarakat.