- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Perjanjian Hudaibiyah: Strategi Cerdas Nabi Muhammad

Google Search Widget

Pada tahun 628 M, setahun setelah Perang Parit, Nabi Muhammad mengumumkan rencana untuk pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Langkah ini mengejutkan banyak orang, mengingat konflik yang masih berlangsung dengan penduduk Makkah. Meski dalam bahaya, Nabi Muhammad tetap melanjutkan perjalanan dengan lebih dari seribu pengikut yang bersamanya, melantunkan puji-pujian, “Labbayk Allahumma labbayk”—“Aku datang, Ya Allah, Aku datang!”

Kaum Quraisy yang panik segera menghadang perjalanan Nabi dan pengikutnya di Hudaibiyah, sebuah lokasi sekitar 22 km di barat daya Makkah. Mereka menawarkan gencatan senjata, sebuah tawaran yang sangat bertentangan dengan harapan Nabi Muhammad dan tentu dianggap sebagai penghinaan bagi para pengikutnya.

Hudaibiyah menjadi sumur penting dalam peristiwa ini. Rasulullah sadar akan kemungkinan penghalangan dari kaum Quraisy dan potensi konflik bersenjata. Dalam perjanjian dengan kaum Quraisy, keputusan yang diambil Nabi Muhammad tampak tidak logis bagi banyak sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab menolak menuliskan perjanjian tersebut karena dianggap tidak adil dan merendahkan simbol-simbol akidah Islam pada masa itu.

Muhammad al-Ghazali dalam bukunya menjelaskan bahwa ada kemungkinan Nabi Muhammad memiliki rencana untuk menguatkan posisi umat Islam sebelum mengambil langkah lebih lanjut dalam menaklukkan Makkah. Ini sejalan dengan doktrin jihad yang menekankan penegakan keadilan dan keimanan kepada Allah SWT.

Keputusan Nabi Muhammad terbukti benar. Jika para pelintas batas kaum Quraisy ditahan di Madinah, hal itu akan membebani ekonomi masyarakat Madinah yang sudah menghadapi banyak pengungsi. Sebaliknya, mereka dari Madinah yang ditahan di Makkah akan dibiarkan, karena dianggap dapat memecah belah suku-suku Quraisy.

Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi Muhammad menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menahan diri demi mencapai tujuan jangka panjang. Ini mengajarkan kita untuk tetap tenang dan berpikir jauh ke depan meskipun dalam situasi sulit.

Selama perundingan gencatan senjata dengan kaum Quraisy, Nabi Muhammad memimpin delegasinya, sementara pihak Quraisy dipimpin oleh diplomat bernama Suhail. Dalam proses tersebut, Nabi mengusulkan untuk memulai perjanjian dengan “bismillahirrohamanirrohim”, tetapi ditolak oleh Suhail yang merasa istilah itu asing. Suhail kemudian mengusulkan kalimat yang lebih umum di kalangan masyarakat Arab.

Ketika penutup perjanjian diusulkan dengan menyebut nama Rasulullah, hal itu kembali ditolak oleh Suhail. Sebagai gantinya, ia mengusulkan untuk menyebut nama Muhammad putra Abdullah. Penolakan terhadap penggunaan kata “Rasulullah” membuat para sahabat merasa tersinggung, namun Nabi meminta mereka untuk menerima perjanjian tersebut.

Meskipun ada pencoretan istilah dan ketidakadilan dalam perjanjian, Nabi Muhammad menilai hal itu sebagai kompromi terbaik untuk mencegah lebih banyak korban jiwa akibat peperangan. Dia memahami implikasi gencatan senjata dan langkah-langkah yang harus diambil selanjutnya. Akidah umat Islam semakin kuat, dan ajaran serta teladan Nabi tetap terpatri di hati para pengikutnya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?