Dakwah Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah dan kemuliaan ajaran Islam berlangsung selama 13 tahun di Makkah, dari tahun 610 hingga 622 M. Setelah itu, dakwah berlanjut di Yatsrib (Madinah) selama 10 tahun, dimulai dengan peristiwa hijrah Rasulullah bersama para sahabatnya. Meskipun telah berpindah tempat, Rasulullah tidak pernah melupakan Makkah, kota kelahirannya. Puncak perhatian dan kecintaan beliau terhadap Makkah terlihat ketika beliau berusaha membebaskan kota tersebut dalam peristiwa yang dikenal sebagai Fathu Makkah.
Selama di Madinah, Nabi Muhammad membangun kekuatan umat sambil melakukan gerakan syiar Islam ke berbagai kabilah dan suku bangsa, bahkan hingga ke negeri-negeri lain. Langkah strategis ini ditempuh sambil mengatur cara untuk merebut kembali Makkah. Akhirnya, sejarah Fathu Makkah tercatat saat Rasulullah memimpin langsung kaum Muslimin dalam pembebasan kota tersebut.
Pasukan Rasulullah memiliki kekuatan yang besar dalam sejarah Fathu Makkah, sesuatu yang sangat dipahami oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu dipimpin oleh Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang mendalam memungkinkan peristiwa ini terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah.
Revolusi besar ini bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga memberikan perlindungan kepada seluruh kaum kafir agar mereka bisa masuk ke dalam Islam dengan sukarela. Dalam sebuah khutbah, dijelaskan bahwa di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi. Nabi kemudian meminta para pimpinan pasukannya untuk menyatakan bahwa hari itu adalah hari kasih sayang.
Setelah menerima penyerahan Makkah, Nabi Muhammad mengumumkan amnesti massal bagi sebagian besar musuh-musuhnya, termasuk mereka yang telah melawannya dalam pertempuran. Berbeda dengan tradisi kesukuan yang berlaku, di mana kaum Quraisy biasanya menjadi budak, Nabi malah menyatakan bahwa semua penduduk Makkah, termasuk budak, dibebaskan. Hanya enam pria dan empat wanita yang dihukum mati karena pelanggaran berat yang pernah mereka lakukan, dan tak seorang pun dipaksa untuk masuk Islam.
Semua orang Makkah diwajibkan untuk mengambil sumpah setia agar tidak berperang lagi melawan Nabi. Di antara orang Quraisy terakhir yang mengambil sumpah tersebut adalah Abu Sufyan dan istrinya, Hindun. Namun, saat mereka secara resmi masuk Islam, keduanya tetap mempertahankan kebanggaan terhadap kepercayaan lama mereka dan secara terbuka mengekspresikan rasa jijik terhadap Nabi dan ajarannya.
Penyelesaian Fathu Makkah berlangsung sangat manusiawi meskipun bertentangan dengan tradisi perang Arab yang biasanya penuh dengan pertumpahan darah dan perampasan. Kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dari semua itu, sehingga tidak ada balas dendam terjadi.
Revolusi tanpa setetes darah ini melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental serta menjadi kemenangan bagi Nabi Muhammad. Era baru di Makkah pun hadir, di mana Islam mengisi kebutuhan lahir dan batin umatnya dengan penuh kasih sayang serta nilai-nilai luhur ajaran Islam.