Dalam sejarah ibadah haji, masyarakat Arab Jahiliyah memiliki tradisi unik yang mencerminkan kepercayaan dan kebiasaan mereka. Salah satu praktik yang mencolok adalah pelaksanaan tawaf di Ka’bah. Sebagian besar suku Arab, kecuali suku Quraisy, melakukannya tanpa mengenakan sehelai pakaian. Mereka beranggapan bahwa pakaian mereka kotor, sementara pakaian suku Quraisy dianggap suci. Jika suku Quraisy tidak memberikan pakaian kepada mereka, tawaf dilakukan tanpa busana. Tradisi ini berlangsung hingga Allah menurunkan Surat Al-A’raf ayat 31.
Surat tersebut mengingatkan pentingnya mengenakan pakaian yang baik saat memasuki masjid: “Kenakanlah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” Setelah turunnya ayat ini, muazin Rasulullah saw mengumumkan larangan untuk melakukan tawaf tanpa busana. Larangan ini juga berlaku bagi kaum musyrik yang tidak boleh memasuki Kota Makkah, sebagaimana dinyatakan dalam Surat At-Taubah ayat 28: “Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.”
Larangan menutup aurat saat ibadah haji disyariatkan pada tahun 9 H, menggantikan kebiasaan tawaf telanjang yang sudah ada sebelumnya. Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa sebelum tahun 9 H, perempuan Arab melakukan tawaf dalam keadaan telanjang, bahkan ada yang meminta bantuan untuk meminjam pakaian tawaf. Tradisi ini berlanjut hingga Islam datang dan Allah memerintahkan untuk menutup aurat melalui Surat Al-A’raf ayat 31 dan sabda Rasulullah saw yang menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi orang telanjang melakukan tawaf di Ka’bah.
Sya’ban Muhammad Ismail menjelaskan bahwa haji sudah dikenal di kalangan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Mereka memiliki tradisi manasik haji yang berkembang sebelum syariat Islam diturunkan. Selama itu, mereka melakukan tawaf di Ka’bah dengan telanjang dan mengatur waktu pelaksanaan haji sesuai kepentingan elit mereka.
Kota Makkah, sebagai pusat pelaksanaan ibadah haji, berada di bawah otoritas kaum musyrikin hingga terjadi penaklukan Makkah pada tahun 8 H. Setelah penaklukan itu, Rasulullah saw membersihkan berhala-berhala dari sekitar Ka’bah, dan ibadah haji diwajibkan bagi umat Islam. Pada tahun 9 H, Nabi Muhammad saw menunjuk sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj untuk melaksanakan misi haji. Walaupun saat itu masih ada praktik tawaf tanpa busana di kalangan masyarakat musyrik Arab, Rasulullah saw tidak melarang sepenuhnya cara haji mereka yang masih dekat dengan kemusyrikan.
Pada tahun 10 H, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah, di mana Rasulullah saw melakukan haji wada, yang merupakan haji terakhir beliau. Pada kesempatan ini, beliau mengajarkan tata cara manasik haji yang benar dan membatalkan tradisi haji Arab Jahiliyah yang telah mengakar.
Dalam khutbah perpisahan pada haji wada tersebut, Rasulullah saw menyampaikan hukum-hukum agama dan Allah menurunkan Surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku.” Perubahan perlahan-lahan dalam tradisi haji ini menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam mengubah kebiasaan yang telah ada selama ratusan tahun.
Tradisi merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang sulit diubah secara drastis. Oleh karena itu, Allah mengubahnya dengan bijaksana dan bertahap. Hal ini terkandung dalam Surat Al-Maidah ayat 50: “(Hukum dan cara pemberlakuan) siapakah yang lebih baik daripada (hukum dan cara) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”