Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad, lebih dikenal dengan sebutan Abul Qasim al-Qusyairi, merupakan sosok penting dalam sejarah tasawuf Islam. Leluhurnya berasal dari kabilah Qusyair, yang terletak di dataran Hadramaut. Kabilah ini merupakan keturunan Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Hawazin. Jika ditelusuri lebih jauh, nasab Abul Qasim al-Qusyairi terhubung dengan Nabi Muhammad ﷺ melalui kakek Nabi, Adnan.
Leluhur Abul Qasim al-Qusyairi melakukan hijrah dari Hadramaut ke kota Naisabur pada akhir abad pertama Hijriah akibat perluasan dinasti Umayyah yang meluas hingga Khurasan di Irak.
Abul Qasim al-Qusyairi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 376 H di perkampungan Osto, yang merupakan bagian dari kota Naisabur. Hal ini berdasarkan catatan al-Khathib al-Baghdadi dalam karyanya, Tarikh Baghdad. Sejak kecil, ia kehilangan ayahnya dan diasuh oleh seorang ulama sufi bernama Abu Qasim al-Yamani. Di usia remaja, ia menjelajahi kota Naisabur dan bertemu dengan Abu Ali ad-Daqqaq, seorang tokoh sufi terkemuka.
Hubungan mereka pun berkembang, dan Abul Qasim al-Qusyairi akhirnya menikahi Fathimah, putri Abu Ali ad-Daqqaq. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Abul Qasim al-Qusyairi berkesempatan menimba ilmu dari banyak tokoh besar Islam di masanya. Ia belajar tasawuf dari Abu Ali ad-Daqqaq dan memiliki silsilah yang jelas dalam tradisi tasawuf. Setelah itu, ia mendalami ilmu tauhid dan ushul fiqh kepada Ibnu Faurok, ulama terkenal yang menyebarkan pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Karya-karyanya menunjukkan komitmennya sebagai pembela madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Setelah wafatnya Ibnu Faurok pada bulan Ramadan tahun 410 H, Abul Qasim al-Qusyairi melanjutkan studi tauhid kepada Abu Ishaq al-Isfiroini. Dalam sebuah ujian, ia berhasil menjelaskan perbedaan pendapat antara Ibnu Faurok dan Abu Ishaq, yang membuat Abu Ishaq mengakui tinggi pengetahuan Abul Qasim dalam ilmu tauhid. Ia juga belajar fiqh madzhab Syafi’i kepada al-Imam Abu Bakar at-Thusi.
Namun, perjalanan ilmiahnya tidak berjalan mulus. Ia difitnah oleh seorang pejabat mu’tazilah, Manshur bin Muhammad al-Kandari, yang menyebabkan pengusirannya dari Naisabur. Abul Qasim kemudian pindah ke Baghdad atas izin Khalifah al-Qaim bi Amrillah. Ia kembali ke Naisabur setelah haji ke Baitullah dan wafat di sana pada 16 Rabi’ al-Akhir tahun 465 H, meninggalkan 31 karya ilmiah.
Abul Qasim al-Qusyairi hidup pada masa ketika ada dua aliran besar dalam tasawuf. Pertama, mereka yang mengikuti jalan para ulama sufi terdahulu dalam berakhlak dan beradab, dan kedua, mereka yang mengklaim sebagai sufi tetapi menolak ajaran syariat. Menyikapi hal ini, Abul Qasim menulis karya monumental berjudul “Risalah Qusyairiyyah” untuk menegaskan bahwa tasawuf dan syariat harus berjalan beriringan.
Ia menekankan bahwa sufi harus berpegang pada aqidah yang benar sebelum menjalani jalan tasawuf. Dalam “Risalah Qusyairiyyah”, ia mengutip pendapat Abu Ali ad-Daqqaq bahwa sufi wajib mengikuti aqidah yang benar dan berpegang pada ilmu yang berdasarkan argumentasi akal dan dalil yang kuat.
Abul Qasim berpendapat bahwa seseorang hanya bisa mendekat kepada Allah dengan aqidah yang benar dan mengikuti syariat Islam. Dalam kitab Lathaif al-Isyarat, ia menjelaskan hakikat iman sebagai proses membenarkan dan mengukuhkan dengan pertolongan Allah serta jerih payah beribadah.
Ia juga mewasiatkan empat nilai penting dalam bertasawuf yang tercantum dalam “Risalah Qusyairiyyah”: kewajiban memegang teguh syariat, beradab terhadap guru spiritual, mengikuti ajaran aqidah yang benar, dan memerangi hawa nafsu.