- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Ushul Fiqih: Sejarah dan Perkembangannya dalam Hukum Islam

Google Search Widget

Ilmu ushul fiqih memiliki posisi yang sangat penting dalam kajian hukum Islam. Sebagai cabang ilmu, ushul fiqih menawarkan konsep logis yang menjadi landasan rumusan hukum. Perjalanan sejarah ushul fiqih cukup panjang, mulai dari kodifikasi hingga penyusunan sistematis.

Sebelum membahas sejarahnya, penting untuk memahami definisi ushul fiqih. Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini, seorang guru besar Madrasah Nizamiyyah yang dikenal sebagai Imam Al-Haramain, mendefinisikan ushul fiqih dalam karyanya Al-Waraqat sebagai dalil-dalil fiqih yang bersifat global. Dalam pengertian ini, ushul fiqih mencakup perintah (al-amr) yang menunjukkan hukum wajib dan larangan (an-nahyu) yang menunjukkan hukum haram, serta berbagai hujah seperti perbuatan Nabi Muhammad saw., konsensus ulama (‘ijma), analogi (qiyas), istihsan, dan lainnya.

Dengan demikian, ruang kajian ushul fiqih mencakup dalil-dalil global yang tidak bersifat tematik sebagaimana dalam ilmu fiqih. Kajian ini juga meliputi penggunaan dasar-dasar hukum syariat, baik yang disepakati oleh para imam (muttafaq alaih) maupun yang tidak disepakati (mukhtalaf fih).

Tajuddin as-Subki (w. 1370 M) menggambarkan komponen dalil dalam ushul fiqih dengan istilah sab’atu kutub (tujuh pembahasan), yaitu kitab, sunnah, ijma’, qiyas, istidlal, ta’arrudl, dan tarjih (dalil kontradiktif dan seleksinya), serta ijtihad.

Sejarah ushul fiqih dimulai pada abad pertama, di masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Pada masa itu, belum ada pembicaraan mengenai ushul fiqih dengan kaidah-kaidahnya. Hukum Islam diputuskan langsung oleh Rasulullah saw. berdasarkan wahyu ilahi yang terkandung dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, fatwa dan keputusan hukum yang dikeluarkan tidak memerlukan dasar atau kaidah.

Setelah wafatnya Nabi saw., para sahabat mengacu pada nash (Al-Qur’an dan hadits) dengan pemahaman bahasa Arab yang orisinil. Mereka memiliki keuntungan karena hidup semasa Rasulullah saw., sehingga mengetahui faktor historis turunnya ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum tertentu. Dalam konteks ini, para sahabat tidak memerlukan kaidah-kaidah ushul fiqih.

Namun, setelah generasi sahabat, wilayah kekuasaan Islam meluas, dan pemeluk Islam berasal dari berbagai bangsa dengan latar belakang sosial dan geografis yang beragam. Hal ini menyebabkan orisinalitas bahasa Arab terancam dan banyak kerancuan dalam memahami nash. Kebutuhan untuk membatasi dan menyusun kaidah bahasa muncul demi menjaga pemahaman yang benar terhadap nash.

Seiring waktu, muncul dua aliran besar dalam madrasah ushul fiqih: Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan Ahlu al-Ra’yu (rasionalis). Ahlu al-Hadits fokus pada Al-Qur’an dan hadits tanpa melibatkan nalar, sementara Ahlu al-Ra’yu lebih menggunakan rasio untuk menetapkan hukum Islam dengan prinsip kemaslahatan umat.

Setelah dua aliran ini, muncul pula kelompok yang melenceng dari batas wajar dan lebih menggunakan nafsu dalam menjadikan dalil. Kondisi ini mendorong perlunya penyusunan batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara penggunaannya, sehingga ilmu ushul fiqih mulai terbentuk.

Sekitar 200 tahun kemudian, ushul fiqih mulai tersebar di tengah hukum fikih. Setiap imam mujtahid dari empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali—menyampaikan dalil beserta metode pengambilannya dalam setiap hukum yang mereka keluarkan. Kaidah-kaidah ushul fiqih mencakup semua metode dan hujah tersebut.

Imam Abu Yusuf (w. 798 M), penganut mazhab Hanafi, adalah orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah ini dalam sebuah kitab meskipun karyanya tidak sampai ke tangan kita. Sementara itu, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H) adalah yang pertama kali menyusun kitab kaidah-kaidah ushul fiqih secara sistematis dengan penjelasan metode penelitiannya dalam kitab Ar-Risalah.

Setelah as-Syafi’i, banyak ulama yang menyusun kitab ushul fiqih dengan berbagai pendekatan. Dua mazhab muncul: mazhab teolog (ahlu al-kalam) dan mazhab Hanafi. Mazhab teolog mengedepankan pembuktian logis dan rasional terhadap kaidah-kaidah dengan dukungan dalil-dalil, sedangkan mazhab Hanafi menyusun kaidah berdasarkan penggunaan kaidah yang telah ada oleh imam-imam terdahulu.

Kitab-kitab terkenal dari mazhab teolog antara lain Al-Mustashfa karya Imam Ghazali dan Al-Minjah karya Imam al-Baidhawi. Sementara itu, kitab-kitab dari mazhab Hanafi termasuk Ushul karya Abu Zaid al-Dabusi dan al-Manar oleh al-Hafidz an-Nasafi.

Selain kedua mazhab tersebut, terdapat ulama yang mengombinasikan metode dari keduanya. Mereka membuktikan kaidah-kaidah ushul fiqih serta menerapkan kaidah tersebut terhadap masalah furu’. Kitab-kitab terkenal dengan metode kombinasi ini di antaranya Badi’u an-Nidzam oleh Mudzaffarudin al-Baghdadi al-Hanafi, at-Taudhih li Shadri as-Syari’ah oleh Kamal bin Hamam, dan Jam’ul Jawami’ oleh Tajuddin as-Subki.

Sebagai penutup, ada beberapa rekomendasi kitab ushul fiqih kontemporer seperti Irsyad al-Fuhul karya as-Syaukani, Ushul al-Fiqh oleh Muhammad Hudhari Bik, dan Tashilul Wushul ila ‘Ilm al-Ushul oleh Muhammad Abdurrahman ‘Id al-Mahlawi.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 7

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?