Setelah Baiat Aqabah kedua, ketika Islam mulai menemukan tempat yang aman, Rasulullah ﷺ mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah. Proses ini tidaklah mudah; banyak sahabat yang harus menghadapi berbagai risiko, seperti meninggalkan keluarga, harta, dan bahkan berpotensi mengancam jiwa mereka. Meski berat, satu per satu umat Muslim berhasil melakukan hijrah dengan cara berkelompok dan sembunyi-sembunyi, meskipun ada juga yang pergi secara terang-terangan.
Menurut Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, setelah dua bulan lebih setelah Baiat Aqabah kedua, hanya tinggal Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma yang belum hijrah. Rasulullah menunggu izin Allah ﷻ untuk melakukannya. Abu Bakar yang telah siap hijrah diminta oleh Rasulullah untuk menemaninya.
Ketika para sahabat mulai hijrah, kaum kafir Quraisy merasakan kekhawatiran besar. Mereka menyadari bahwa keberadaan mereka terancam secara ideologis dan ekonomi, terutama dengan adanya dukungan dari kaum Muslimin Madinah yang bersatu setelah lama bertikai. Dengan lokasi Madinah yang strategis sebagai jalur perdagangan, para pemimpin Quraisy merundingkan cara terbaik untuk menghadapi situasi ini. Kesepakatan pun diambil untuk membunuh Rasulullah ﷺ, di mana setiap suku akan mengirimkan seorang pemuda berbadan kuat untuk mengeksekusi rencana tersebut.
Namun, Allah ﷻ mengirimkan malaikat Jibril untuk memberitahukan rencana jahat tersebut kepada Rasulullah ﷺ dan memberinya izin untuk hijrah. Rasulullah segera menemui Abu Bakar di rumahnya untuk menjelaskan rencana itu. Setelah semua dijelaskan, mereka menunggu malam tiba.
Di sisi lain, para pembesar Quraisy telah menyiapkan rencana matang untuk membunuh Rasulullah. Mereka menunggu di sekitar rumahnya untuk melaksanakan eksekusi saat beliau tidur. Namun, dengan izin Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya dan kemudian keluar dari kepungan dengan selamat.
Ketika mereka masuk ke rumah Rasulullah, mereka menemukan Ali bin Abi Thalib yang tertidur di tempat tidur, mengira dia adalah Rasulullah ﷺ. Sementara itu, Abu Bakar meminta putranya, Abdullah, untuk mengawasi aktivitas kaum Quraisy dan melaporkannya setiap malam. Mereka juga mendapatkan makanan dan susu dari kambing yang dibawa oleh budak Abu Bakar.
Rasulullah dan Abu Bakar kemudian bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar turut membantu melaporkan perkembangan di Makkah. Sementara itu, kaum musyrik mencari keberadaan Rasulullah hingga tiba di sekitar Gua Tsur. Dalam ketegangan tersebut, Abu Bakar merasa takut, tetapi Rasulullah menenangkannya dengan mengatakan bahwa mereka tidak sendirian; Allah adalah teman perjalanan mereka.
Dengan izin Allah ﷻ, para musyrik tidak melihat ke dalam gua tempat mereka bersembunyi. Ini menunjukkan bahwa pertolongan Allah selalu ada bagi hamba-Nya yang beriman. Hikmah dari kisah hijrah ini menunjukkan bahwa meskipun ada ancaman besar dari musuh, Allah selalu melindungi dan memberikan jalan keluar.
Hijrah Rasulullah ﷺ bukan hanya perjalanan fisik tetapi juga pelajaran tentang keimanan dan tawakkal kepada Allah. Setiap Muslim harus menyadari pentingnya bersandar pada Allah dalam setiap langkah dan tidak hanya mengandalkan usaha semata. Mukjizat dalam perjalanan hijrah ini menjadi pengingat bahwa penindasan terhadap umat Islam tidak berarti Allah meninggalkan mereka; sebaliknya, pertolongan-Nya akan selalu datang pada waktu yang tepat.