Berbagai upaya telah dilakukan oleh kaum musyrikin untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Mereka bahkan bersekongkol untuk membunuhnya, namun semua usaha tersebut selalu gagal. Di belakang Rasulullah terdapat Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang berjuang mati-matian untuk melindunginya, tanpa mempedulikan risiko yang dihadapi. Akhirnya, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya.
Kegeraman orang Quraisy memuncak dengan upaya untuk memakzulkan Rasulullah dan para pengikutnya, termasuk semua anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang melindunginya. Mereka menciptakan kebijakan sepihak yang merugikan para pembela Rasulullah, yang meliputi larangan menikahi kedua suku tersebut, melakukan transaksi, membuka jalan nafkah, berdamai, dan membantu mereka, sampai pihak Bani Muthalib bersedia menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh.
Kebijakan kejam tersebut dituangkan dalam sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah, yang menyatakan bahwa mereka tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan, kecuali jika mereka menyerahkan Rasulullah. Perjanjian itu dilaksanakan dan digantungkan di dalam Ka’bah. Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik yang beriman maupun yang belum, tetap bersikukuh membela Rasulullah. Mereka terisolasi di celah bukit milik Abu Thalib pada malam pertama bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, meskipun ada beberapa versi mengenai tanggal tersebut.
Orang-orang yang sudah beriman dikucilkan karena keyakinan mereka. Sementara yang belum beriman juga terpaksa ikut dikucilkan karena dianggap melindungi Rasulullah. Dengan demikian, seluruh anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot, kecuali satu orang, Abu Lahab.
Pemboikotan berlangsung selama tiga tahun, dari bulan Muharram tahun ke-7 hingga bulan Muharram tahun ke-10 kenabian. Selama waktu itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib menderita berat. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit karena kelaparan. Jeritan kaum wanita dan bayi-bayi mengisi kesunyian di balik kelaparan yang mencekam.
Setiap kali sahabat Rasulullah datang untuk membeli makanan dari kafilah yang datang ke Makkah, Abu Lahab akan menyeru agar harga dinaikkan sehingga mereka tidak mampu membeli apa pun. Setelah tiga tahun pemboikotan, tindakan tersebut mulai dikecam oleh beberapa tokoh dari kalangan Bani Qushay. Mereka sepakat untuk membatalkan perjanjian itu. Di saat yang sama, Allah mengutus pasukan rayap untuk memakan lembar perjanjian yang digantung di Ka’bah.
Allah memberitahu Rasulullah bahwa lembaran perjanjian itu telah dimakan rayap. Nabi kemudian menginformasikan hal ini kepada pamannya, Abu Thalib, yang lantas menghampiri orang Quraisy untuk menyampaikan apa yang didengar dari Rasulullah. Abu Thalib meminta mereka untuk membuka lembaran tersebut.
Singkat cerita, orang Quraisy setuju dengan permintaan Abu Thalib. Mereka menurunkan lembaran dari Ka’bah dan perlahan membukanya di hadapan banyak orang. Setelah dibuka, lembaran tersebut telah rusak dimakan rayap, menyisakan hanya lafal Allah. Namun, orang Quraisy tetap mengelak dan menganggap itu sebagai sihir Muhammad. Kekufuran mereka semakin menjadi.
Tak lama setelah itu, lima pemuka Quraisy muncul untuk mencabut embargo yang telah mereka lakukan. Kelima orang tersebut adalah Hisyam bin Amr bin Harits, Zuhair bin Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, Abul Bakhtari bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad. Zuhair bin Umayyah adalah yang pertama secara terbuka mencabut embargo, diikuti oleh keempat tokoh lainnya. Muth’im bin ‘Adi kemudian merobek lembar perjanjian tersebut dan kelima orang itu menemui Bani Hasyim dan Bani Muthalib serta orang-orang yang diboikot di Syi’b Bani Muthalib. Mereka pun akhirnya bebas dan kembali ke rumah masing-masing.
Hikmah dari peristiwa ini menunjukkan ketabahan Rasulullah dan para pengikutnya dalam menghadapi penderitaan demi membela kebenaran. Para pembela Rasulullah menunjukkan bahwa ketulusan niat mereka bukanlah demi kepentingan duniawi. Bahkan banyak sahabat yang rela meninggalkan harta demi iman mereka. Ini menjadi bukti bahwa tujuan mereka masuk Islam adalah murni karena Allah, bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada masa awal dakwah di Makkah, banyak orang yang memeluk Islam berasal dari kalangan fakir miskin dan lemah. Setelah masuk Islam, Allah mengangkat keadaan ekonomi mereka. Namun demikian, fakta ini tidak menunjukkan bahwa mereka masuk Islam demi kepentingan duniawi.