Pada usia 35 tahun, sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah ﷺ menyaksikan kesepakatan orang-orang Quraisy untuk memperbaharui pembangunan Ka’bah. Mereka berniat menambahkan atap pada bangunan suci tersebut, namun rasa takut dan khawatir menghinggapi mereka. Kekhawatiran ini muncul akibat potensi dampak negatif bagi masyarakat jika renovasi dilakukan. Ka’bah sebelumnya dibangun di atas ketinggian yang umum, sehingga mereka ingin meninggikannya dan menambah atap.
Ka’bah adalah bangunan pertama yang didirikan untuk menyembah Allah ﷻ. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang menghancurkan berhala-berhala sebelumnya, adalah sosok pertama yang membangunnya berdasarkan perintah Allah ﷻ. Dalam Al-Qur’an, Allah mencatat momen tersebut:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah: 127).
Ketika Rasulullah memasuki usia 35 tahun, kaum Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah yang telah lapuk. Mengingat kedudukan Ka’bah yang sangat penting bagi mereka, masyarakat Quraisy sepakat hanya menggunakan dana halal untuk pembangunannya. Mereka menolak biaya yang berasal dari pelacuran, judi, atau cara-cara zalim.
Untuk memulai renovasi, kaum Quraisy membagi tugas. Pintu Ka’bah menjadi tanggung jawab Bani Abdu Manaf dan Zuhrah. Antara rukun Aswad dan rukun Yamani menjadi tanggung jawab Bani Makhzum dan kabilah lainnya. Punggung Ka’bah dipegang oleh Jumah dan Sahm bin Amr bin Hushaish bin Ka’ab bin Luay, sedangkan Hajar Aswad menjadi tanggung jawab Bani Abduddar bin Qushay, Bani Asad bin al-Uzza, dan Bani Adi bin Ka’ab bin Luay.
Imam Ibnu Ishaq mencatat bahwa pada awalnya, kaum Quraisy merasa cemas untuk meruntuhkan Ka’bah. Al-Walid bin al-Mughirah mengambil kapak dan berdiri di depan Ka’bah dengan niat meruntuhkannya. Ia berdoa kepada Allah agar tidak ada yang buruk terjadi. Jika sesuatu menimpa dirinya, mereka berencana untuk menghentikan renovasi. Namun, jika tidak terjadi apa-apa, berarti Allah meridhai tindakan mereka. Keesokan harinya, al-Walid melanjutkan pekerjaannya dan meruntuhkan Ka’bah hingga mencapai fondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Saat renovasi sampai pada Hajar Aswad, perselisihan muncul mengenai siapa yang berhak meletakkannya kembali. Pertikaian semakin memanas hingga hampir terjadi pertumpahan darah di Masjidil Haram. Abu Umayyah bin al-Mughirah mengusulkan agar keputusan diserahkan kepada orang pertama yang masuk masjid. Mereka semua setuju. Dan atas kehendak Allah, sosok pertama itu adalah Rasulullah ﷺ. Ketika mereka melihatnya, mereka berseru bahwa Muhammad adalah orang terpercaya dan mereka rela jika dia yang memutuskan.
Rasulullah ﷺ kemudian meminta kain untuk meletakkan Hajar Aswad. Ia mengajak semua kepala kabilah untuk memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama. Ketika tiba di tempat Hajar Aswad, Rasulullah mengambilnya dari kain dan meletakkannya kembali dengan tangannya sendiri.
Sebelum diangkat menjadi nabi, Rasulullah ﷺ berperan aktif dalam pembangunan Ka’bah. Ia turut mengangkut batu dan memberikan solusi dalam perselisihan mengenai Hajar Aswad. Semua orang Quraisy tahu bahwa Rasulullah adalah sosok terpercaya dan disukai oleh semua kalangan.
Dalam kajian Syekh Said Ramadhan al-Buthi, ada tiga hikmah penting dari peristiwa ini:
Pertama, keagungan dan kesucian Ka’bah sebagai bangunan yang didirikan untuk menyembah Allah ﷻ. Meskipun memiliki kedudukan agung di sisi Allah, Ka’bah hanyalah tumpukan batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudarat tanpa penghambaan kepada Allah.
Kedua, kecerdasan dan kebijaksanaan Rasulullah ﷺ dalam mengelola urusan dan menghentikan perselisihan. Ia mampu menengahi konflik antara suku-suku yang berseteru dengan bijak.
Ketiga, tingginya kedudukan Nabi Muhammad ﷺ di mata kaum Quraisy. Sebelum diutus sebagai nabi, ia dikenal sebagai al-amin (sang tepercaya) dan disukai oleh semua orang. Namun, setelah diangkat menjadi nabi, ia mengalami penolakan dan permusuhan dari kaum yang sebelumnya menghormatinya.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Rasulullah ﷺ tidak hanya berkontribusi dalam pembangunan fisik Ka’bah tetapi juga dalam menjaga kesatuan dan keharmonisan masyarakat Quraisy melalui kebijaksanaan dan akhlaknya yang mulia.