- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Baitul Maqdis: Simbol Perdamaian yang Terus Terabaikan

Google Search Widget

Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi titik pertemuan antara agama-agama samawi, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tempat ini juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Rasulullah SAW memindahkannya ke Masjidil Haram di Makkah pada pertengahan bulan Sya’ban.

Namun, ironisnya, Baitul Maqdis yang seharusnya menjadi simbol persatuan tidak cukup mampu mendamaikan Palestina dan Israel dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Israel, dengan sumber daya dan kekuatannya, terus melakukan pendudukan, pencaplokan, perluasan wilayah, dan blokade terhadap wilayah Palestina. Selain itu, pengusiran warga Palestina dari rumah mereka kerap memicu Hamas untuk menembakkan roket ke Israel.

Belakangan ini, peperangan pecah di Jalur Gaza antara Hamas dan tentara Israel. Konflik ini dipicu oleh pengusiran 28 keluarga Palestina dari lingkungan Sheikh Jarrah, Yerusalem, yang dilakukan Israel untuk perluasan pemukiman Yahudi. Di Palestina sendiri, perpecahan antara faksi Hamas dan faksi Fatah menyulitkan perjuangan kedaulatan.

Sebelum gencatan senjata tercapai, setidaknya 254 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak dan 39 wanita, kehilangan nyawa, sementara lebih dari 1.900 terluka dalam serangan besar-besaran Israel selama 11 hari di Jalur Gaza, menurut otoritas kesehatan Palestina. Di pihak Israel, 13 warga juga tewas akibat tembakan roket dari Gaza. Serangan tersebut baru berhenti pada 21 Mei 2021 setelah perjanjian gencatan senjata yang diprakarsai Mesir.

Peperangan ini membawa kepiluan dan tragedi yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa dengan sia-sia. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad memberikan contoh diplomasi damai yang mengedepankan titik temu, bukan memperuncing perbedaan yang hanya akan memicu konflik berkepanjangan.

Dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad”, Muhammad Husain Haekal menjelaskan bahwa Rasulullah dahulu melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib” setelah konflik antar-kabilah yang berlangsung selama 120 tahun. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi berdasarkan musyawarah dan persekutuan yang erat.

Kaum Yahudi menyambut baik tujuan Nabi Muhammad untuk menyatukan masyarakat Yatsrib. Beliau bermusyawarah dengan para kepala suku Yahudi yang selama ini terlibat dalam konflik, termasuk Suku Quraiza, Suku Nadir, dan Suku Qainuqa, serta kaum Nasrani.

Nabi Muhammad mendekatkan semua pembesar suku karena mereka adalah Ahli Kitab dan monoteis. Umat Islam berpuasa, dan mereka juga ikut berpuasa karena ajaran umat-umat sebelumnya. Namun, umat Islam telah disyariatkan dengan jelas oleh Nabi Muhammad.

Pada waktu itu, kiblat dalam shalat masih mengarah ke Baitul Maqdis. Husain Haekal menjelaskan bahwa persahabatan Nabi Muhammad dengan pihak Yahudi semakin erat seiring berjalannya waktu.

Kewibawaan Nabi Muhammad jelas terlihat di masyarakat Yatsrib karena akhlak mulia yang dimilikinya. Beliau dikenal rendah hati, penuh kasih sayang, selalu memenuhi janji, dermawan, terbuka terhadap fakir miskin, dan selalu hadir bagi mereka yang menderita.

Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Madinah melalui perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan kebebasan beragama. Namun, beliau juga menetapkan hukuman bagi siapa saja yang melanggar kesepakatan dalam Piagam Madinah, tanpa memandang asal-usul atau suku mereka.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?