Setelah mendapat izin dari Tuhan untuk membimbing umatnya di tengah-tengah kekuasaan Firaun, yang dengan angkuh mengklaim sebagai Tuhan, Nabi Musa akhirnya berhadapan langsung dengan Firaun dan para tukang sihirnya. Dalam situasi yang penuh ancaman bagi dirinya dan kaumnya, Nabi Musa AS bersama dengan Bani Israil lainnya beranjak menuju negeri Palestina.
Di bawah kepemimpinan Firaun, Bani Israil tidak hanya mengalami perbudakan dan kerja paksa, tetapi juga kekejaman yang lebih mendalam, yaitu pembunuhan bayi laki-laki Bani Israil. Hal ini dilakukan karena ada ramalan bahwa seorang bayi laki-laki dari Bani Israil akan lahir dan menghancurkan kekuasaan Firaun.
Dalam catatan Muhammad Husain Haekal dalam “Sejarah Hidup Muhammad,” terungkap bahwa Nabi Musa dibesarkan dan diasuh di pangkuan Firaun. Di tangan para pemuka agama kerajaan, Musa AS mulai memahami keesaan Tuhan dan berbagai rahasia alam.
Meskipun mendapatkan nikmat dan perlindungan Allah SWT melalui Nabi Musa, Bani Israil tidak menunjukkan rasa syukur. Mereka terus-menerus membangkang terhadap perintah Allah dan Nabi Musa. KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya “Berangkat dari Pesantren” menjelaskan bagaimana setelah membawa Bani Israil meninggalkan Mesir dan menyeberangi Laut Merah, Nabi Musa bermunajat kepada Allah SWT di Gunung Thur Sina (Sinai).
Nabi Musa menghabiskan masa tuanya memimpin kaum Bani Israil yang keras kepala dan suka memberontak. Dalam beberapa literatur sejarah, diceritakan bahwa setelah diselamatkan oleh Nabi Musa AS dengan izin Allah SWT, Bani Israil masih melakukan pembangkangan. Ketika mereka baru sampai di seberang Laut Merah, mereka meminta Nabi Musa untuk membuatkan patung berhala anak sapi untuk disembah, mengikuti jejak bangsa Samiri di seberang laut. Tentu saja, permintaan itu ditolak oleh Nabi Musa.
Penolakan Nabi Musa tidak diindahkan. Saat Nabi Musa meninggalkan mereka sejenak untuk bermunajat, ia menitipkan tanggung jawab kepada Nabi Harun AS. Namun, hanya dalam waktu 40 hari, saat Nabi Musa kembali, Bani Israil sudah kembali menyembah patung-patung anak sapi yang mereka buat. Marah atas pembangkangan tersebut, Nabi Musa menghancurkan batu tulis yang berisi Taurat yang baru saja diterimanya dari Allah SWT.
Pembangkangan berikutnya terjadi saat Nabi Musa mengajak kaumnya untuk pergi ke ‘tanah yang dijanjikan’ Allah SWT kepada mereka, yaitu Kota Yerusalem. Yerusalem kelak menjadi tempat suci bagi tiga agama besar: Islam, Nasrani, dan Yahudi. Nabi Musa memerintahkan mereka untuk menuju kota itu dengan keyakinan bahwa Allah SWT menjanjikan kemenangan bagi mereka. Namun, mereka menolak dan meminta agar Nabi Musa dan Allah SWT saja yang pergi ke sana, karena takut dengan raja yang kejam yang berkuasa di Yerusalem.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 24, mereka berkata: “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya; karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” Keengganan Bani Israil juga tercatat dalam Surat Al-Maidah ayat 22: “Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam; kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.’”
Atas pembangkangan yang terus-menerus itu, kemarahan Nabi Musa tidak dapat lagi dibendung. Allah SWT pun menetapkan bahwa selama 40 tahun tanah tersebut haram bagi Bani Israil. Mereka akan tersesat di gurun tanpa bisa mencapai tanah yang dijanjikan hingga masa hukuman itu selesai.
Selama 40 tahun, Bani Israil terus berputar-putar di gurun tanpa pernah sampai ke tanah yang dijanjikan. Hingga akhir hayatnya, Nabi Musa tidak pernah mencapai tempat tersebut. Bani Israil baru bisa menginjakkan kaki di Yerusalem setelah masa hukuman dari Allah SWT berakhir. Di sana, mereka kembali membentuk koloni-koloni baru dan mulai menguasai Yerusalem.