- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Kehidupan Awal Nabi Muhammad SAW

Google Search Widget

Sejak kecil, Nabi Muhammad SAW telah merasakan kehilangan orang-orang tercinta. Sang ayah pergi saat beliau masih dalam kandungan, diikuti oleh ibunda tercinta, kakek, dan paman. Namun, di balik semua itu terdapat hikmah dan pelajaran yang mendalam.

Nabi Muhammad lahir dari ibunda bernama Siti Aminah binti Wahab dan ayahanda Abdullah bin Abdul Muthalib. Keduanya memiliki ikatan kekerabatan yang kuat melalui jalur nasab di Abdu Manaf. Saat usia Nabi Muhammad SAW baru enam bulan dalam kandungan, sang ayah dipanggil oleh Allah SWT. Seharusnya, saat itu Aminah bersama jabang bayi dalam kandungan mendapat perhatian dan kasih sayang dari Abdullah tercinta, tetapi sang suami justru pergi untuk selamanya. Dengan demikian, Muhammad sudah yatim sejak dalam kandungan.

Rasulullah SAW dilahirkan di tengah kabilah Bani Hasyim, di kota Mekah pada hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awal, yang diperkirakan bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M. Para ahli seperti Muhammad bin Sulaliman al-Manshurfuri dan astrolog Mahmud Pasha menganalisis kelahiran beliau dengan seksama.

Sebagai tanda kenabian sebelum diangkat menjadi Nabi, kelahiran Muhammad SAW ditandai dengan peristiwa-peristiwa luar biasa. Dalam beberapa kitab Sirah Nabawi seperti Zad al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim dan Rahiq al-Makhtum karya Safyurrahman al-Mubarakfuri, dijelaskan bahwa cahaya terang benderang muncul bersamaan dengan kelahiran beliau. Saking terangnya, cahaya tersebut bahkan sampai ke negeri Syam. Selain itu, peristiwa luar biasa lainnya seperti runtuhnya empat belas beranda istana kekaisaran Persia dan padamnya api yang disembah kaum Majusi juga terjadi bersamaan dengan kelahiran Nabi.

Setelah lahir, Siti Aminah segera mengutus seseorang untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada Abdul Muthalib, sang kakek. Mendengar berita bahagia ini, Abdul Muthalib segera menggendong cucunya ke Ka’bah untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah SWT atas kelahiran cucu laki-lakinya.

Aminah adalah istri yang setia. Setelah suaminya wafat, ia masih menyempatkan diri untuk menziarahi makam Abdullah di Yatsrib (sekarang Madinah), menempuh perjalanan sejauh 500 km bersama Muhammad kecil yang berusia enam tahun dan seorang pembantu bernama Ummu Ayman. Namun, saat perjalanan pulang menuju Mekah, Aminah sakit dan menghembuskan napas terakhir di daerah Abwa’, antara Mekah dan Yatsrib. Muhammad yang ditinggal sang ayah saat dalam kandungan kini harus merelakan kepergian ibunda.

Setelah kedua orang tuanya tiada, Muhammad diasuh oleh Abdul Muthalib. Sang kakek menyadari betapa berat beban duka yang harus ditanggung oleh cucunya yang masih kecil ini. Dengan penuh kasih sayang, Abdul Muthalib merawat Muhammad kecil dengan perhatian yang lebih daripada perhatian yang diberikan kepada anak-anaknya sendiri.

Dikisahkan bahwa Abdul Muthalib memiliki singgasana khusus di bawah naungan Ka’bah. Suatu ketika, Muhammad duduk di tempat itu, yang membuat para pamannya marah. Namun, Abdul Muthalib justru membela cucunya dan menegur pamannya dengan tegas, mengatakan bahwa Muhammad akan menjadi orang besar kelak. Dia duduk bersama Muhammad sambil mengusap punggung cucunya dengan lembut, menunjukkan kasih sayangnya yang mendalam.

Sayangnya, kasih sayang Abdul Muthalib tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun mengasuh Muhammad, sang kakek dipanggil oleh Allah SWT ketika usia Muhammad menginjak delapan tahun. Kesedihan Muhammad semakin sempurna; setelah kepergian ayah dan ibunya, kini kakeknya juga harus pergi. Setelah kepergian sang kakek, Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, hingga berusia lebih dari empat puluh tahun.

Hikmah dan pelajaran dari kisah hidup Nabi Muhammad SAW ini sangat mendalam. Pertama, pengalaman kehilangan yang dialaminya sejak kecil membentuk sikap kasih sayang yang mendalam dalam diri beliau. Pengalaman sulit ini mempersiapkan beliau untuk menjadi pemimpin yang memahami dan merasakan kesulitan umatnya. Kedua, melalui kehilangan orang-orang tercinta, Allah SWT mengajarkan agar Nabi tidak terlalu bergantung pada manusia, melainkan selalu mendekatkan diri kepada-Nya sebagai satu-satunya tempat berlindung.

Kisah kehidupan awal Nabi Muhammad SAW menjadi pengingat betapa pentingnya rasa empati dan kedekatan kepada Sang Pencipta dalam menghadapi segala cobaan hidup.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?