Yahudi mengklaim hak atas Palestina sebagai pewaris Kerajaan David dan Sulaiman. Mereka berargumen bahwa pencaplokan Palestina bukanlah penjajahan, melainkan pemulihan hak yang telah hilang akibat penindasan oleh berbagai bangsa sepanjang sejarah, seperti Asyur, Babilonia, Yunani, Romawi, dan Romawi Kristen. Ketika kekuasaan Islam mencapai Syam pada tahun 638 M, Palestina berada di bawah kendali Muslim. Selama berabad-abad berikutnya, Yahudi Semit hidup di bawah dinasti-dinasti Islam seperti Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Fathimiyah, Mamluk, dan Turki Usmani, yang menguasai Palestina selama dua abad dari 1516 hingga 1917. Beberapa Yahudi memilih bertahan di Palestina, sementara yang lain memilih pindah ke Eropa.
Pada awal abad ke-15, gelombang migrasi Yahudi ke Eropa Timur dan Tengah meningkat, dan jumlah mereka mencapai delapan juta orang pada awal abad ke-20. Keberadaan mereka yang banyak dan dominasi dalam sektor bisnis menimbulkan kecemasan di kalangan orang Eropa, yang memicu sentimen anti-Yahudi, dikenal sebagai anti-Semit. Peristiwa Holocaust di bawah Hitler mengakibatkan pembantaian enam juta Yahudi.
Selama Perang Dunia I (1914-1918), Turki Usmani bersekutu dengan Jerman. Di tengah penindasan di Eropa Timur dan Tengah, orang-orang Yahudi mulai memikirkan tanah air politik mereka. Mereka, yang dikenal sebagai Zionis, menginginkan nation-state untuk keturunan Israil. Zion adalah nama lain untuk Bukit Sion di Yerusalem, dan Zionis mengklaim sebagai pewaris sah tanah leluhur yang didirikan oleh Raja David di bukit tersebut.
Dalam situasi perang, mereka melihat peluang. Meskipun banyak yang masih tinggal di Jerman, mereka memihak Inggris dan Perancis melawan Jerman dengan harapan kekalahan tersebut akan membawa kepada hilangnya kontrol Turki Usmani atas Palestina. Harapan mereka terwujud ketika Jerman kalah dan Turki Usmani melepaskan kontrol atas wilayah Palestina.
Tahun 1917 menjadi tonggak penting ketika Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot untuk membagi wilayah bekas Turki Usmani. Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, melobi Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour. Pada 2 November 1917, Balfour mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour, yang menyatakan bahwa Inggris mendukung Palestina sebagai “national home” bagi bangsa Yahudi, dengan syarat tidak mengganggu hak warga non-Yahudi di sana.
Dengan dukungan Inggris, warga Yahudi Eropa mulai beremigrasi ke Palestina. Antara 1919 dan 1926, sekitar 90.000 orang Yahudi pindah ke sana. Dengan modal yang besar, Zionis membeli tanah dari tuan tanah Arab secara legal. Setelah menguasai tanah tersebut, mereka mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1948 dan mulai mengambil tanah secara paksa. Dari yang awalnya minoritas, Yahudi menjadi mayoritas dan mulai bertindak semena-mena.
Pada tahun 1956, mereka mencaplok Semenanjung Sinai. Dalam Perang Enam Hari tahun 1967, Israel berhasil merebut Yerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Israel juga merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Setelah beberapa kekalahan di tangan Israel dalam konflik-konflik tersebut, negara-negara Arab mulai bersedia bernegosiasi dengan Palestina. Beberapa negara Arab mengakui kedaulatan Israel, dimulai oleh Turki pada tahun 1949 dan diikuti oleh Mesir (1979), Yordania (1994), UEA (2020), Bahrain (2020), Sudan (2020), dan Maroko (2020). Arab Saudi pun mulai menunjukkan keterbukaan untuk bernegosiasi dengan Israel.
Beralih ke klaim Zionis sebagai pewaris sah tanah leluhur, mereka mendasarkan klaim ini pada mandat historis dan teologis. Ada dua teori mengenai keturunan Yahudi saat ini. Teori pertama menyatakan bahwa Yahudi yang bermigrasi ke Eropa adalah keturunan asli Timur Tengah dengan darah Semitis dari Kanaan. Teori ini dikenal sebagai Rhineland.
Teori kedua berpendapat bahwa Yahudi yang migrasi ke Eropa bukanlah keturunan asli Semit tetapi adalah bangsa Khazar, suku nomaden dari Turki yang memeluk Yudaisme pada abad ke-8 M. Mereka mendirikan kerajaan di Kaukasus Utara sebelum akhirnya melarikan diri ke Eropa Timur setelah keruntuhan kerajaan mereka. Menurut teori ini, Yahudi di Eropa Timur bukan berdarah Israel asli tetapi menjadi Yahudi karena mengikuti Yudaisme.
Penelitian oleh Eran Elhaik dari Johns Hopkins University mendukung teori kedua ini. Temuan Elhaik menentang tesis bahwa darah Yahudi Eropa berasal dari keturunan asli Kanaan. Mereka sebenarnya adalah bangsa Khazar yang memeluk Yudaisme dan membayangkan kembali Palestina sebagai tanah leluhur.
Jika temuan Elhaik valid, bisa disimpulkan bahwa para pendiri Negara Israel bukanlah Bani Israil dalam pengertian biologis. Mereka mengklaim sebagai Bani Israil karena menganut Yudaisme; dalam konteks ini, mereka bukan anak biologis Yehuda tetapi anak ideologisnya. Dengan demikian, klaim mereka sebagai pewaris sah Kerajaan David dan Sulaiman patut dipertanyakan.