Bani Israil sering kali dikritik karena sikap mereka yang sombong, yang berakar dari rasa dengki. Dalam sejarah, kedengkian ini terbukti menjadi dosa yang sangat tua; Iblis menolak untuk sujud kepada Adam akibat dengki, dan Qâbîl membunuh Hâbîl karena hal yang sama (Tafsîr al-Qurthûbî/VI, h. 416). Dalam bahasa Arab, kedengkian ini disebut ḫasad. Mereka menolak Nabi Muhammad bukan hanya karena ajarannya, tetapi juga karena keturunannya. Mereka merasa cemburu karena Nabi terakhir itu bukan berasal dari Bani Israil, melainkan dari keturunan Ibrahim melalui Ismail. Dengan sikap angkuh, mereka beranggapan bahwa kenabian adalah hak keturunan Ishak. Penolakan mereka terhadap Muhammad tidak didasari kebodohan seperti yang dimiliki oleh kaum jahiliyah. Sebaliknya, mereka menyadari dan bahkan berharap akan datangnya seorang Nabi yang akan membela mereka melawan kaum penyembah berhala Arab. Namun, ketika Nabi yang mereka tunggu—yang disebutkan dalam kitab suci mereka—datang, mereka malah mengingkarinya (QS Al-Baqarah [2]: 89).
Al-Qur’an menggambarkan kedengkian Bani Israil di beberapa ayat.
“ sangatlah buruk perangai mereka menjual dirinya, dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya” (QS Al-Baqarah [2]: 90).
“Banyak di antara Ahlul Kitab ingin mengembalikanmu ke dalam kekafiran setelah beriman karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka” (QS Al-Baqarah [2]: 109).
Allah mencela sikap kedengkian mereka. Mengapa mereka merasa dengki kepada Muhammad, padahal Allah telah memuliakan keturunan Ibrahim, terutama dari jalur Ya’qub dan memberikan karunia berlimpah kepada mereka? Di antara mereka terdapat para nabi, seperti Yusuf, serta Dawud dan Sulaiman yang diangkat sebagai Nabi sekaligus raja. Al-Qur’an menegaskan:
“Apakah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah berikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami berikan mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar” (QS An-Nisa [4]: 54).
Kedengkian Bani Israil menjadi sumber berbagai penyakit dan kutukan. Karena itu, Allah mencabut kemuliaan mereka, membuat mereka terpuruk dalam penindasan oleh bangsa lain. Mereka bahkan merasakan kedengkian terhadap saudara mereka sendiri seperti Yusuf putra Ya’qub dari Rahel. Yusuf dibuang, namun kemudian menjadi pejabat tinggi di Mesir. Keluarga Ya’qub akhirnya menyusul ke Mesir, tempat mereka hidup di bawah penindasan bangsa Qibti. Fir’aun memburu dan mempersekusi mereka hingga Musa datang untuk membawa mereka keluar dari Mesir menuju Palestina.
Setelah Musa dan Harun wafat, Bani Israil kembali hidup di bawah penindasan bangsa Palestina. Allah kemudian mengutus Thalut untuk memulihkan kekuasaan mereka. Thalut digantikan oleh Dawud, yang kemudian digantikan oleh Sulaiman. Sulaiman membangun Baitul Maqdis. Setelah masa Sulaiman berakhir, Bani Israil terpecah menjadi dua kerajaan: Kerajaan Yehuda di selatan dengan ibukota Yerussalem dan Kerajaan Israel di utara dengan ibukota Samaria. Pada 720 SM, Kerajaan Samaria ditaklukkan oleh bangsa Asyur; penduduknya diambil sebagai budak atau melarikan diri ke Yehuda. Ini menjadi awal hilangnya sepuluh suku Bani Israil.
Selanjutnya, Kerajaan Yehuda juga ditaklukkan oleh Babilonia. Nebukadnezar II menghancurkan Baitul Maqdis pada 587 SM dan membawa Bani Israil ke Irak sebagai budak. Namun, Cirus Yang Agung dari Persia mengalahkan Babilonia dan mengizinkan Bani Israil kembali ke Palestina untuk membangun kembali Baitul Maqdis. Kekaisaran Persia kemudian ditaklukkan oleh Alexander Agung pada 334 SM, dan Bani Israil hidup di bawah kekuasaan Yunani. Dua abad berikutnya, mereka berada di bawah kekuasaan Romawi yang dipimpin Herodes. Ketika mereka memberontak, Herodes menghancurkan Baitul Maqdis untuk kedua kalinya. Banyak dari Bani Israil ditangkap dan dijadikan budak; Kaisar Hadrianus membangun kembali Baitul Maqdis bukan untuk Tuhan, tetapi untuk dewa Romawi, terutama Yupiter. Hal ini memicu kemarahan Bani Israil, yang menyebabkan Perang Bar Kokhba (132-135 M). Pertempuran ini berujung pada pembantaian setengah juta orang Yahudi dan penghancuran hampir seribu desa.
Pada tahun 610 M, Dinasti Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina, memberi kesempatan pada Bani Israil untuk memugar Baitul Maqdis. Namun, hanya lima tahun kemudian, Romawi kembali merebut Palestina dan menghancurkan Baitul Maqdis lagi.
Bani Israil memasuki era diaspora, meninggalkan Palestina dan hidup terlunta-lunta di berbagai tempat seperti Yunani, Turki, Libya, Italia, dan Mesir. Beberapa pindah ke Arab, terutama Madinah, dan terbagi menjadi tiga klan besar: Bani Nadhlir, Bani Quraidhah, dan Bani Qainuqa’.
Saat Nabi Muhammad diangkat sebagai utusan, mayoritas Yahudi menolak ajaran beliau. Meskipun menandatangani Piagam Madinah, mereka belot. Akhirnya, Yahudi Bani Nadhir diusir; ini adalah pengusiran pertama yang dicatat dalam Al-Qur’an (Surat Al-Hasyr). Setelah Fathu Makkah, Nabi secara bertahap mengeluarkan Bani Israil dari Jazirah Arab.
Namun derita mereka belum selesai. Bani Israil yang tinggal di Eropa mengalami sentimen anti-Semit yang meluas, puncaknya adalah Holocaust yang dilakukan oleh Hitler antara 1933-1945 yang menyebabkan sekitar enam juta Yahudi tewas.
Masa depan Bani Israil mulai bergeser dengan Deklarasi Balfour pada tahun 1917 dan Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1948. Namun, meskipun Israel sekarang terlihat kuat secara ekonomi dan militer, janji Allah tidak akan meleset. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap masa akan ada tangan-tangan yang Allah kirim untuk menghukum Bani Israil karena kesombongan mereka.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memberitahukan bahwa sungguh Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari kiamat” (QS Al-A’raf [7]: 167).