Imam asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah tokoh besar dalam ilmu hadits. Sanad hadits yang menghubungkan ketiga imam ini, terutama dari Imam Ahmad bin Hanbal ke Imam asy-Syafi’i hingga Imam Malik bin Anas, dikenal sebagai silsilah dzahabiyyah atau rantai emas riwayat hadits. Kitab-kitab seperti Muwattha’ karya Imam Malik, Musnad asy-Syafi’i oleh Imam asy-Syafi’i, dan Musnad Ahmad oleh Imam Ahmad bin Hanbal merupakan karya-karya penting dalam ilmu hadits.
Namun, bagaimana dengan Imam Abu Hanifah? Kritik terhadap beliau sering muncul terutama dari kalangan Wahabi yang menilai bahwa Imam Abu Hanifah tidak menguasai ilmu hadits. Mereka berpendapat bahwa lebih baik merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits daripada mengikuti mazhab Imam Abu Hanifah, karena dianggap lemah dalam ilmu hadits.
Padahal, Imam Abu Hanifah juga memiliki kontribusi signifikan dalam ilmu hadits. Beliau mengambil sanad hadits dari banyak ulama di zamannya. Seperti halnya Imam asy-Syafi’i yang menjadikan Imam Malik sebagai rujukan utama, Imam Abu Hanifah menjadikan Imam Atha’ bin Rabbah sebagai guru dalam mengambil sanad hadits.
Kisah pertemuan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Atha’ bin Rabbah sangat menarik. Diceritakan bahwa ketika mereka bertemu di Makkah, Imam Abu Hanifah menjelaskan asal-usulnya dan keyakinan tentang tidak mencaci para sahabat serta beriman pada qadha’ dan qadar Allah. Imam Atha’ pun memberikan pengakuan bahwa beliau berada di jalan yang benar dan mendorongnya untuk tetap pada keyakinan tersebut.
Selain itu, Imam Abu Hanifah juga mendapatkan sanad dari tokoh-tokoh besar lainnya seperti Abu Ishaq as-Sabi’i, Muharib bin Ditsar, dan Hammad bin Abu Salamah. Di antara murid-muridnya yang meriwayatkan hadits ialah Husyaim bin Basyir dan Abu Yusuf al-Qadhi.
Kepakaran Imam Abu Hanifah dalam ilmu hadits diakui oleh banyak ulama sepanjang zaman. Meskipun jumlah hadits yang diriwayatkannya tidak banyak, hal ini disebabkan oleh kehati-hatian beliau dalam memilih sanad hadits yang terpercaya. Syekh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah adalah ulama yang paling mumpuni dalam ilmu hadits pada masanya, meskipun riwayatnya sangat sedikit.
Syekh Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani juga menegaskan bahwa Imam Abu Hanifah adalah pakar dalam ilmu hadits. Prinsip beliau adalah memprioritaskan dalil hadits meskipun hanya sedikit yang meriwayatkan, asalkan hadits tersebut berasal dari perawi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Banyak ulama lain yang menolak kritik terhadap kepakaran Imam Abu Hanifah. Syekh Muhammad bin Yusuf as-Shalih asy-Syafi’i mengungkapkan bahwa kepakaran beliau dalam ilmu hadits sangat penting bagi pengembangan fiqih. Selain itu, Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni menekankan bahwa Imam Abu Hanifah adalah ulama tabi’in yang berderajat mujtahid dan sangat memahami al-Qur’an serta hadits.
Syekh al-Hafidz adz-Dzahabi juga mencatat bahwa ia tidak akan menulis kritik terhadap tokoh-tokoh besar seperti Imam Abu Hanifah karena tingginya derajat mereka di hati umat Islam.
Dengan demikian, sedikitnya riwayat hadits yang berasal dari Imam Abu Hanifah tidak seharusnya menjadi alasan untuk merendahkan status beliau sebagai mujtahid mutlak. Banyak ulama masa lalu yang juga hanya sedikit meriwayatkan hadits karena faktor ketelitian, seperti sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Selain itu, ketika Imam Abu Hanifah mencabut pendapatnya karena menemukan dalil baru dari hadits, hal ini juga dialami oleh banyak ulama lain di zaman tersebut.
Dengan semua penjelasan ini, jelaslah bahwa Imam Abu Hanifah memiliki kontribusi yang sangat berarti dalam ilmu hadits meskipun beliau lebih selektif dalam meriwayatkan hadis dibandingkan dengan imam-imam lainnya.