Mengungkapkan konsensus kebangsaan melalui Piagam Madinah memiliki makna historis yang mendalam bagi umat Islam. Ini mengingatkan kita bahwa Nabi Muhammad SAW telah menyusun dasar negara berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan seluruh warga bangsa di mata hukum.
Pada masa itu, Madinah menjadi kawasan yang majemuk. Konsensus yang terdapat dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) berlandaskan prinsip keadilan bagi semua kelompok, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, maupun suku-suku lainnya yang hidup di Madinah.
Ada beberapa alasan ilmiah dan alamiah dalam penyusunan Piagam Madinah. Pertama, faktor universal yang menegaskan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor lokal yang mencerminkan kemajemukan, kecenderungan bertanah air, serta semangat toleransi keagamaan dan kemanusiaan.
Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal dan merupakan perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang dibentuk oleh Nabi Muhammad. Dengan demikian, Nabi SAW menciptakan Darul Mistaq, sebuah negara yang mengedepankan kesepakatan antarkelompok masyarakat yang berbeda.
Jika ditarik ke pembentukan dasar negara di Indonesia, para ulama seperti KH Wahid Hasyim telah meneladani Nabi Muhammad dengan melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan. Sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian ini berfokus pada kebersamaan dan keadilan untuk semua bangsa sesuai dengan 47 pasal dalam Piagam Madinah guna mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.
Ada tiga langkah penting yang dilakukan Rasulullah pada fase Madinah, yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya sehingga mereka hidup aman, tenteram, saling menghargai, dan sejahtera.
Langkah pertama adalah menjadikan masjid sebagai pusat segala kegiatan. Setelah tiba di Madinah, Rasulullah membangun Masjid Nabi (Nabawi) yang sederhana namun menjadi simbol kebangkitan peradaban Islam. Masjid ini berfungsi tidak hanya untuk shalat, tetapi juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, proses belajar mengajar, hingga menyusun strategi perang atau politik.
Langkah kedua adalah membangun persaudaraan antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Pada fase ini terdapat dua kelompok umat Islam: kaum Muhajirin (yang hijrah dari Makkah) dan kaum Anshar (penduduk asli Madinah). Rasulullah mempersaudarakan mereka secara langsung untuk memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial, sehingga mengurangi potensi konflik.
Langkah ketiga adalah membangun persaudaraan dengan umat agama lain (ukhuwan insaniyah). Rasulullah memahami betul bahwa masyarakat Madinah terdiri dari berbagai latar belakang agama. Oleh karena itu, untuk menciptakan kota yang kuat dan damai, penting untuk mempersatukan masyarakat yang beragam tersebut.
Piagam Madinah menegaskan bahwa warga Muslim dan non-Muslim di Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa. Orang Yahudi, Nasrani, dan non-Muslim lainnya dijamin perlindungan dari segala bentuk penistaan dan gangguan.
Dalam piagam ini, terdapat regulasi terkait sistem politik, keamanan, kebebasan beragama, kesetaraan di depan hukum, perdamaian, dan pertahanan, yang menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Madinah yang damai dan harmonis.