- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Teladan Akhlak Mulia Nabi Muhammad SAW

Google Search Widget

Dalam berbagai riwayat hadits, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai teladan akhlak mulia. Hal ini terlihat dari sikap beliau yang tetap mendoakan orang-orang yang memusuhinya, menghormati jenazah orang Yahudi, bahkan berencana menshalatkan jenazah orang munafik sebelum Al-Qur’an menurunkan larangannya.

Kasih sayang Nabi Muhammad juga tampak saat beliau berhijrah dengan berjalan kaki menuju Thaif. Di kota tersebut, beliau tinggal bersama Zaid bin Haritsah selama sepuluh hari dengan harapan masyarakat setempat akan menerima dakwah Islam.

Nabi Muhammad bertemu dengan pembesar Bani Tsaqif: Abdi Talel, Khubaib, dan Mas’ud. Kepada mereka, beliau mengenalkan ajaran tauhid. Namun, tragisnya, utusan Allah ini justru menjadi sasaran pelecehan, penghinaan, dan umpatan yang dilontarkan dengan kata-kata kotor.

Lebih parah lagi, Nabi dilempari batu hingga terluka. Dalam situasi tersebut, Zaid melindungi beliau hingga kepalanya juga terluka. Keduanya melarikan diri ke kebun milik Utbah bin Rab’i’ah untuk beristirahat dan mengobati luka. Di sana, Nabi Muhammad bermunajat kepada Allah SWT agar diberi kekuatan menghadapi cobaan yang berat ini.

Allah SWT mengabulkan doa sang Nabi. Malaikat Jibril dan penjaga gunung mendatanginya. Jibril bertanya kepada Nabi, “Apakah engkau ingin aku timpakan dua gunung kepada mereka?” Namun, Nabi tidak menginginkannya. Beliau berharap Allah akan menciptakan generasi bertakwa dari masyarakat di sana. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Teladan rahmah juga ditunjukkan Nabi Muhammad ketika menghadapi sikap gegabah putra Zaid bin Haritsah, Usama. Terdapat riwayat di mana setelah perang usai, seorang musuh mencoba memasuki wilayah prajurit Muslim. Usama bin Zaid, yang masih muda dan merupakan Panglima Angkatan Perang Nabi, memergoki dan mengejar musuh tersebut.

Musuh itu terjebak di tebing dan tidak memiliki jalan keluar. Tiba-tiba, ia meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usama. Panglima Perang tersebut terkejut, tetapi ia dan pasukannya tidak ingin terpedaya oleh taktik musuh sehingga Usama tetap membunuhnya.

Seorang sahabat yang menyaksikan kejadian itu melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usama telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar laporan tersebut, Nabi marah hingga urat di dahinya terlihat jelas.

Usama dipanggil dan ditanya mengapa ia membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama menjelaskan bahwa tindakan musuh itu hanya sebuah taktik belaka, karena ia membawa senjata yang dapat membahayakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena dianggap syahadatnya tidak tulus.

Mendengarkan penjelasan Usama, Nabi Muhammad bersabda: “Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair” (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).

Pernyataan ini menunjukkan betapa tidak pantasnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain, apalagi mengafirkan satu sama lain. Fenomena saling mengafirkan kini sering terjadi di kalangan umat Islam, bahkan bukan hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan.

Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Ini bukan berarti bahwa umat Islam boleh mengganggu orang yang masih kafir; mereka tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan orang lain sambil berdakwah dengan cara yang baik.

Masalah pelanggaran lain sebaiknya diserahkan kepada hukum formal untuk diselesaikan. Setelah kejadian itu, Usama pun meminta maaf kepada Rasulullah dan berjanji akan lebih berhati-hati di masa depan. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka keluarga dekat orang tersebut juga akan menjadi korban.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?