Di antara mukjizat luar biasa yang terjadi pada bulan Sya’ban dan dikenang sepanjang zaman adalah peristiwa terbelahnya Bulan. Dalam kitab an-Nafhah al-Rabbaniyah fi Khashâis asy-Sya’baniyah dijelaskan melalui bentuk syair tentang kejadian ini.
Pada pertengahan bulan Sya’ban, saat rembulan berada di posisi Istiwa dengan kesempurnaan cahayanya, terjadi perbincangan di sudut kota Makkah antara Rasulullah dan kaum Quraisy. Rasulullah mengajak mereka pada kebenaran agar diri mereka bisa lepas dari jeleknya kesyirikan. Kaum Quraisy kemudian memberikan syarat untuk melihat terbelahnya Bulan, dan dengan jelas bulan pun terbelah.
Mukjizat ini tercatat dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surat Al-Qamar. Allah berfirman: “Saat (hari kiamat) semakin dekat, Bulan pun terbelah. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘ini adalah sihir yang terus-menerus.’ Dan mereka mendustakan (Muhammad) serta mengikuti keinginannya, padahal setiap urusan telah ada ketetapannya” (QS Al-Qamar: 1-3).
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir menjelaskan bahwa ayat tersebut menggambarkan sikap kaum kafir Quraisy yang terus mendustakan dakwah Nabi. Meskipun mereka melihat tanda-tanda kenabian dan bukti bahwa Nabi Muhammad benar, mereka tetap berpaling dari kebenaran dan iman padanya, bahkan pergi sambil berkata bahwa itu adalah sihir yang kuat.
Sikap keras kepala orang-orang kafir terhadap mukjizat terbelahnya Bulan ini menunjukkan bahwa meskipun mereka menyaksikan bukti kekuasaan Allah secara langsung, hal itu belum tentu membawa mereka kepada hidayah Islam. Peristiwa ini mengajarkan kita bahwa kebodohan dan kesombongan dapat menghalangi seseorang dari menerima kebenaran, meskipun tanda-tanda jelas telah ditunjukkan.
Hikmah yang dapat diambil dari kejadian ini adalah bahwa orang yang menyaksikan bukti kekuasaan Allah sekalipun belum tentu mendapatkan hidayah. Para penentang yang keras kepala akan tetap berada dalam kesesatan meski telah dihadapkan pada mukjizat yang nyata.