Shalat memiliki akar yang dalam dalam budaya Arab sebelum Islam. Dalam karyanya, dijelaskan bahwa istilah “shalat” sudah digunakan oleh masyarakat Arab pra-Islam dengan makna doa dan istighfar. Kata ini berpotensi memiliki makna yang berkaitan dengan ketetapan, seperti dalam frasa “man yashla fin nar”, yang mengacu pada orang yang kekal di neraka. Pemikiran ini didukung oleh Al-Azhari, yang menegaskan bahwa shalat adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah.
Ada beberapa pandangan tentang asal-usul kata “shalat”. Salah satunya menyatakan bahwa kata ini berasal dari dua urat yang menjaga tulang ekor unta atau hewan lain. Selain itu, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa “shalat” diambil dari kata “shaluta” dalam bahasa Ibrani, yang berarti tempat ibadah. Bahasa Arab kemudian mengadopsi kata ini dengan makna doa dan istighfar. Quran menggunakan istilah “shalat” sesuai dengan pemahaman masyarakat Arab, seperti yang tercantum dalam Surat At-Taubah dan Surat Al-Ahzab.
Ibadah shalat disyariatkan pada awal masa Islam, di mana ketika itu hanya terdiri dari dua rakaat pada pagi dan sore. Pada malam hari, shalat terbatas pada pembacaan Al-Qur’an secara tartil. Lima waktu shalat yang dikenal sekarang diwajibkan menjelang hijrah Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap shalat, memerintahkannya dengan berbagai gaya bahasa, baik secara eksplisit maupun implisit.
Walaupun jumlah rakaat shalat tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, waktu pelaksanaannya diuraikan secara garis besar. Tata cara shalat diuraikan sebagian dalam Al-Qur’an, namun rincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam praktik shalat Rasulullah SAW yang dicontohkan dalam hadits. Rasulullah mengarahkan umat untuk melaksanakan shalat dengan mengikuti cara yang ia lakukan.
Awalnya, Rasulullah SAW melaksanakan shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, namun kemudian diperintahkan untuk menghadap ke Masjidil Haram, sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia. Kewajiban shalat disyariatkan sejak awal pengutusan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Setelah sekitar 16 bulan, kewajiban shalat semalaman dirasa berat oleh para sahabat dan kemudian diringankan untuk dilaksanakan hanya pada sebagian malam.
Kewajiban shalat semalaman dilaksanakan selama sepuluh tahun oleh Nabi Muhammad SAW dan diikuti beberapa sahabat. Namun, setelah penurunan Surat Al-Muzzammil ayat 20, kewajiban itu diringankan menjadi pelaksanaan shalat pada sebagian malam saja. Kewajiban shalat lima waktu diwajibkan pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, di mana awalnya diwajibkan sebanyak 50 waktu sehari semalam, tetapi kemudian dikurangi menjadi lima waktu setelah negosiasi dengan Allah.
Menurut Sayyidatina Aisyah RA, shalat lima waktu terdiri dari dua rakaat setiap kali, kecuali untuk Maghrib yang terdiri dari tiga rakaat. Jumlah rakaat ditambah saat bermukim menjadi empat rakaat untuk zuhur, ashar, dan isya, sementara tetap dua rakaat saat perjalanan. Waktu shalat lima waktu disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an dan rincian waktu dapat ditemukan dalam riwayat hadits.
Rasulullah SAW melakukan shalat bersama sahabat sebelum diwajibkannya shalat lima waktu pada malam Isra’ dan Mi’raj. Meskipun banyak riwayat yang menunjukkan aktivitas shalat beliau dan sahabatnya sebelum peristiwa tersebut, detail waktu dan tata cara pelaksanaan tidak tercatat dalam sejarah. Shalat di awal-awal Islam dilakukan dengan cara tertentu meskipun terdapat ejekan dari orang-orang musyrik Makkah.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Allah menetapkan kewajiban shalat lima waktu dengan ketentuan waktu yang jelas. Pelajaran penting dari sejarah ini adalah pentingnya membiasakan diri untuk shalat bagi anak-anak dan orang baru memeluk agama Islam dengan pendekatan yang lemah lembut.