Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan sebuah peristiwa yang sulit dipahami oleh akal manusia. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu dapat ditempuh hanya dalam satu malam? Dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis, lalu dari Baitul Maqdis menuju langit hingga Nabi Muhammad SAW bertemu langsung dengan Rabb-Nya tanpa penghalang.
Rasulullah menyadari bahwa pengalaman ini melampaui nalar. Beliau merasa cemas dan ragu, “Jangan-jangan umatku tidak akan mempercayai semua ini?” pikir beliau.
Namun, apapun yang terjadi, kebenaran harus disampaikan. Sebagai seorang nabi, beliau memiliki sifat wajib yaitu shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya). Oleh karena itu, beliau harus menceritakan kisah ini apa adanya, tanpa penambahan atau pengurangan.
Isra’ Mi’raj menjadi ujian bagi umat Islam pada masa itu. Mereka yang tulus dalam keimanannya semakin bertambah iman, sementara yang lemah imannya tidak sedikit yang menyatakan kufur.
Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) menjelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW menceritakan kisah Isra’ Mi’raj kepada kaumnya, banyak di antara mereka yang tidak percaya. Mereka yang sebelumnya beriman justru menjadi kufur, sementara yang tulus semakin menambah keimanannya. Ini menjadikan peristiwa tersebut sebagai ujian bagi umat Islam.
Setelah perjalanan Isra’ Mi’raj selesai, Rasulullah SAW kembali ke Makkah menjelang waktu subuh. Namun, rasa cemas masih mengganggu diri beliau. Beliau khawatir umatnya tidak akan mempercayainya.
Dalam keadaan sedih, beliau duduk dan tiba-tiba Abu Jahal mendekatinya dengan nada mengejek, “Apakah ada berita yang ajaib, Muhammad?!”
“Iya,” jawab Rasulullah.
“Apa itu?” tanya Abu Jahal penasaran.
“Aku telah di-isra’kan tadi malam,” jelas Rasulullah.
“Ke mana?” tanya Abu Jahal lagi.
“Ke Baitul Maqdis,” jawab beliau.
“Bagaimana mungkin sepagi ini sudah berada di sini?” tanya Abu Jahal semakin penasaran.
“Benar,” jawab Rasulullah.
Abu Jahal tidak membantah ucapan Rasulullah karena ia khawatir bila Rasulullah berpaling. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk mempermalukan Rasulullah di depan umatnya.
“Wahai Muhammad! Bagaimana jika aku mengundang kaummu? Apakah kamu bersedia menceritakan apa yang kau ceritakan padaku tadi?” tawar Abu Jahal.
“Ya, saya mau,” jawab Rasulullah tanpa ragu.
Dengan cepat, Abu Jahal melancarkan rencana jahatnya. Ia memanggil orang-orang untuk berkumpul dan mendengarkan cerita Rasulullah.
Saat orang-orang berkumpul, Abu Jahal mengatakan, “Wahai Muhammad! Ceritakan pada kaummu, apa yang baru saja kau ceritakan padaku.”
Rasulullah pun mulai bercerita tentang Isra’ Mi’raj dan perjalanan ke Baitul Maqdis. Saat mendengar cerita tersebut, orang-orang mulai gaduh. Ada yang bertepuk tangan dan ada yang menunjukkan ekspresi kagum.
Salah satu dari mereka, Muth’im bin ‘Adi, meragukan cerita tersebut, “Wahai Muhammad! Cerita-ceritamu sebelumnya biasa saja. Tapi sekarang tidak lagi.” Ia menegaskan bahwa perjalanan ke Baitul Maqdis membutuhkan waktu satu bulan dengan unta. “Kami tidak mempercayainya!” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Muth’im, Sayidina Abu Bakar membela Rasulullah, “Hai Muth’im! Kamu telah mendustakan keponakanmu sendiri!” Ia menegaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur.
Orang-orang meminta bukti dari Rasulullah. Mereka ingin tahu detail tentang Baitul Maqdis. Rasulullah menjelaskan dengan rinci tentang arsitektur dan jarak dari gunung. Namun, satu hal yang tidak bisa ia jelaskan adalah jumlah pintu Baitul Maqdis. Atas kuasa Allah, Nabi diperlihatkan gambar Baitul Maqdis di rumah ‘Aqil bin Abi Thalib dan mampu menyebutkan jumlah pintunya.
Setelah penjelasan itu, Abu Bakar bersaksi, “Benar engkau ya Rasulullah! Engkau memang benar!”
Orang-orang kemudian meminta Rasulullah untuk menceritakan tentang rombongan unta mereka yang hilang saat Isra’. Rasulullah menjelaskan semua detailnya dengan tepat. Meski demikian, banyak dari mereka tetap tidak percaya dan malah semakin kufur.
Peristiwa ini menjadi ujian keimanan bagi umat Islam; mereka yang tulus semakin bertambah iman, sementara yang lemah imannya justru tersesat lebih jauh.