- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Perjanjian Hudaibiyah: Diplomasi Nabi Muhammad yang Berhasil

Google Search Widget

Perjanjian Hudaibiyah, yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijriah atau sekitar tahun 628 M, adalah salah satu contoh keunggulan diplomasi Nabi Muhammad SAW. Hudaibiyah adalah sebuah sumur yang terletak di barat daya Kota Makkah, sekitar 22 kilometer dari kota tersebut. Dalam perjanjian dengan kaum kafir Quraisy, Nabi Muhammad memilih pendekatan moderasi untuk mencapai kesepakatan damai. Meskipun banyak sahabat yang tidak setuju dengan keputusan ini karena dianggap melanggar prinsip-prinsip perjuangan Islam, Nabi Muhammad berhasil meyakinkan mereka bahwa langkah ini adalah bagian dari tuntunan Allah dan demi perdamaian.

Peristiwa ini berlangsung ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin hendak melaksanakan umrah. Meskipun sudah mengetahui bahwa kaum kafir Quraisy akan berupaya menghalangi mereka, Rasulullah tetap melanjutkan niatnya. Dalam proses perundingan, beliau memimpin langsung delegasi Muslim, sementara pihak Quraisy dipimpin oleh Suhail, seorang diplomat yang ulung.

Ketika naskah perjanjian disusun, Rasulullah mengusulkan untuk diawali dengan kalimat “bismillahirrohamanirrohim.” Namun, usulan tersebut ditolak oleh Suhail karena dianggap asing. Sebagai gantinya, Suhail mengusulkan kalimat “bismika allhumma,” yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Arab saat itu. Selain itu, penutupan perjanjian juga menjadi sorotan. Rasulullah mengusulkan kalimat “hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah,” tetapi kembali ditolak dan diubah menjadi “hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah.” Penolakan terhadap pencoretan basmalah dan gelar “Rasulullah” membuat para sahabat merasa tersinggung, namun Rasulullah meminta mereka untuk tetap menyetujui naskah perjanjian tersebut.

Meskipun ada materi yang dianggap tidak adil dalam perjanjian tersebut, seperti perlakuan berbeda terhadap pelanggaran batas wilayah oleh kaum kafir Quraisy dan umat Islam, Nabi Muhammad memahami bahwa ini adalah langkah maksimal yang bisa diambil untuk mencegah lebih banyak korban jiwa akibat peperangan. Keputusan untuk menerima perjanjian ini tidak hanya mempertimbangkan kondisi saat itu, tetapi juga masa depan umat Islam.

Kenyataannya, keputusan Nabi Muhammad terbukti sangat menguntungkan. Jika semua pelintas batas dari kaum kafir Quraisy ditahan di Madinah, hal itu akan membebani masyarakat Madinah yang sudah menghadapi masalah pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, pelintas dari Madinah yang ditahan di Makkah dibiarkan bebas karena mereka dianggap sebagai kader yang berpotensi memecah belah suku-suku di Quraisy.

Keberhasilan diplomasi Hudaibiyah menunjukkan betapa pentingnya kemampuan menahan diri dan mengedepankan kepentingan jangka panjang. Dalam situasi yang sulit sekalipun, sikap Rasulullah dapat menjadi teladan bagi kita untuk tidak terbawa emosi dan selalu mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?