Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar pernah mengalami fitnah yang sangat menyakitkan, dikenal sebagai hadits al-ifki. Peristiwa ini terjadi setelah pulang dari ekspedisi Musthaliq pada tahun kelima Hijriyah, di mana Aisyah dituduh berselingkuh dengan seorang sahabat, Shafwan bin Mu’aththal. Kabar bohong ini dipelopori oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik, dan segera menyebar melalui beberapa individu, termasuk Misthah bin Atsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahys.
Fitnah tersebut dengan cepat mengguncang kehidupan masyarakat Madinah. Pada awalnya, Nabi Muhammad memilih untuk tidak menanggapi kabar ini. Namun, seiring dengan terus beredarnya rumor dan tidak adanya wahyu yang turun, Nabi meminta pendapat dari sahabat-sahabatnya seperti Usamah bin Zaid, Ali bin Abi Thalib, dan Burairah mengenai isu tersebut.
Sayyidah Aisyah sendiri sangat terpukul mendengar kabar fitnah itu. Setelah kembali ke Madinah, ia jatuh sakit selama sebulan. Dalam kondisi tersebut, Aisyah tinggal di rumah orang tuanya setelah mendapatkan izin dari Nabi Muhammad. Ia merasa bahwa perhatian Nabi terhadapnya berubah; sikapnya tidak hangat dan kurang perhatian, sementara Aisyah sedang menghadapi masa sulit.
Nabi Muhammad tidak menyalahkan atau membenarkan kabar itu karena masih menunggu wahyu dari Allah. Beliau memberi tahu Aisyah bahwa jika ia tidak bersalah, Allah pasti akan membersihkannya. Sebaliknya, jika ia berdosa, Nabi meminta Aisyah untuk memohon ampunan kepada-Nya. Mendengar kata-kata Nabi, Aisyah pun menangis hingga hampir habis air matanya dan menunjukkan kesabarannya menunggu pembelaan dari Allah.
Masyarakat Madinah terbagi menjadi empat kelompok terkait rumor tersebut. Pertama, mereka yang membela Aisyah dan tidak percaya pada rumor, seperti Abu Musa al-Ashari dan istrinya. Kedua, kelompok yang diam dan tidak memberikan komentar. Ketiga, mereka yang tidak percaya tetapi tetap membicarakan isu ini, termasuk Misthah, Hassan, dan Hamnah. Keempat, pelopor kabar bohong yaitu Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya.
Setelah sebulan—atau dalam riwayat lain 45 hari—Nabi Muhammad menerima wahyu mengenai pembebasan Aisyah dari semua tuduhan keji tersebut melalui Surat An-Nur ayat 11. Ayat ini mengingatkan bahwa orang-orang yang menyebarkan berita bohong akan mendapatkan balasan atas perbuatan mereka. Setelah wahyu turun, para penyebar fitnah dihukum cambuk sebanyak 80 kali. Namun, Nabi Muhammad tidak menghukum Abdullah bin Ubay dan pengikutnya, dengan beberapa alasan yang dijelaskan oleh para ulama.
Hadits al-ifki merupakan momen yang sangat menyakitkan bagi Aisyah, Nabi Muhammad, dan umat Islam secara umum. Namun demikian, ada enam pelajaran penting dari peristiwa ini. Pertama, sikap Nabi Muhammad yang tidak langsung percaya pada rumor dan tetap meminta pendapat sahabat-sahabatnya sebelum mengambil tindakan. Kedua, ketenangan Aisyah yang memilih untuk bersabar sambil menunggu pembelaan dari Allah.
Ketiga, pentingnya tidak menyebarluaskan rumor. Keempat, kewajiban menjaga nama baik orang terhormat dan menanggapi isu negatif dengan tegas. Kelima, keyakinan bahwa Allah akan selalu membela orang-orang yang teraniaya. Keenam, wajar untuk marah terhadap pihak yang bersalah.
Menurut perspektif al-Buthy, peristiwa hadits al-ifki juga mengungkap sisi kemanusiaan Nabi Muhammad. Beliau merasakan keresahan dan mencari saran dari sahabat-sahabat terdekatnya tanpa mencoba mengungkap kebenaran melalui wahyu sebelum waktunya. Ini menunjukkan bahwa meskipun sebagai nabi dan rasul, beliau tetap manusia biasa yang mengalami keraguan dan kesedihan.
Peristiwa ini mengajarkan kita nilai-nilai penting dalam menghadapi fitnah dan bagaimana bersikap bijak dalam situasi sulit.