Kota Madinah merupakan pusat kepemimpinan umat Islam yang dijadikan Baginda Nabi Muhammad sebagai simbol toleransi antarumat beragama. Dari kota ini, kita belajar bahwa perbedaan agama tidak menghalangi semangat perdamaian dan kesatuan dalam mempertahankan kota kelahiran dari berbagai ancaman musuh.
Penting untuk menelusuri sejarah asal-usul kota ini dan mengapa Islam dapat diterima dengan baik, meskipun tidak lahir dari Madinah. Islam datang dari Makkah, namun mayoritas penduduk Madinah telah memeluk agama ini sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah secara langsung di sana.
Salah satu sosok yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Madinah adalah Mush’ab bin ‘Umair. Ia diutus oleh Rasulullah untuk menyebarkan ajaran Islam jauh sebelum hijrah ke kota tersebut. Mush’ab dikenal dengan wajah rupawan, postur tegap, dan sikap lemah lembut. Ia rela meninggalkan segala harta dan perniagaannya di Makkah demi tugas mulia ini.
Mush’ab awalnya berdakwah kepada kalangan budak, pekerja, dan rakyat miskin di Madinah. Mereka tertarik dengan ajaran Islam yang menyejajarkan setiap manusia di hadapan Allah, tanpa memandang latar belakang.
Suatu ketika, Mush’ab berangkat ke Bani Abdul Asyhal, sebuah kabilah besar di Madinah, bersama As’ad bin Zurarah yang memiliki hubungan kerabat dengan Sa’ad bin Mu’adz, salah satu tokoh kabilah tersebut. Saat itu, Sa’ad dan Usaid bin Hudhair masih memeluk agama leluhur mereka. Merasa tidak enak karena hubungan saudara, Sa’ad mempersilakan Usaid menemui Mush’ab dan As’ad terlebih dahulu.
Usaid segera menghampiri kedua utusan Islam tersebut dengan tombak siap di tangan. As’ad pun menyambut dengan sumpah serapah, “Apakah kalian datang ke sini hanya untuk membodohi orang-orang lemah kami? Pergilah jika kalian ingin selamat!”
Dengan tenang, Mush’ab menjawab, “Maukah engkau duduk dan mendengarkan ajaran kami? Jika engkau suka, terimalah; jika tidak, tinggalkanlah.”
Merasa tertarik, Usaid mengikat tombaknya dan setuju untuk mendengarkan. Mush’ab kemudian menjelaskan ajaran Islam dengan lemah lembut dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Seiring waktu, senyum muncul di wajah Usaid. Ia pun bertanya bagaimana cara masuk ke dalam agama tersebut.
Mush’ab menjawab, “Mandilah, bersihkan badan dan pakaianmu, baca dua kalimat syahadat, dan dirikanlah shalat.” Usaid mengikuti perintah tersebut dan melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah itu, ia mengatakan bahwa Sa’ad bin Mu’adz adalah tokoh penting yang jika beriman, maka kaumnya akan mengikuti.
Usaid bergegas menemui Sa’ad dengan wajah berseri-seri, membuat kaumnya bingung. Amarah Sa’ad memuncak saat ia merasa ajaran yang dibawa Mush’ab mengancam kaumnya. Ia pun mendekati Mush’ab dan As’ad dengan tombak terhunus, mengatakan bahwa ia akan membunuh mereka jika bukan karena hubungan kekerabatan.
Dengan tenang, Mush’ab kembali menawarkan untuk mendengarkan ajaran mereka. Sa’ad akhirnya sepakat untuk duduk dan mendengarkan penjelasan. Setelah dijelaskan dengan lembut, Sa’ad pun terpesona dengan ajaran tersebut dan bertanya bagaimana cara memeluk agama itu.
Mush’ab memberikan instruksi yang sama. Setelah melakukan shalat dua rakaat, Sa’ad kembali menemui kaumnya dengan semangat baru. Melihat wajah Sa’ad yang berseri-seri, kaumnya semakin bingung melihat perubahan sikapnya.
Sa’ad kemudian mengumpulkan seluruh keluarga Bani Asyhal dan bertanya mengenai kedudukannya di mata mereka. Semua menjawab bahwa ia adalah pemimpin dan panutan mereka. Dengan percaya diri, Sa’ad menyatakan bahwa ia tidak akan berhubungan lagi dengan mereka hingga mereka semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sejak saat itu, seluruh keluarga Bani Asyhal berbondong-bondong masuk Islam tanpa pertumpahan darah. Hal ini menandai semakin banyaknya penduduk Madinah yang memeluk Islam.
Dari kisah ini, kita memahami bahwa penyebaran Islam yang damai tidak dilakukan dengan kekerasan, melainkan melalui dakwah yang lembut seperti yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin ‘Umair. Kerja kerasnya membuahkan hasil saat penduduk Madinah menyambut kedatangan Rasulullah dengan penuh haru, termasuk lirik syair terkenal dari perempuan Bani Najjar: “Thala’al Badru ‘Alaina min Tsaniyyat al-Wada’”.
Inilah kisah singkat perjuangan Mush’ab bin ‘Umair pada masa-masa awal Islam yang menunjukkan indahnya dakwah tanpa kekerasan.