Sayidina Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin dengan kepribadian yang luar biasa. Kebesarannya diakui tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh dunia Barat. Pengakuan ini datang bukan karena ketakutan atau motif tertentu, melainkan karena akhlak dan karakter baik yang dimiliki Khalifah Umar.
Dalam memoarnya, KH Saifuddin Zuhri mengungkapkan kesaksian pribadi tentang Sayidina Umar yang ditulis oleh Ensiklopedia Britannica. Mereka mencatat bahwa “masa kepemimpinannya menyaksikan transformasi negara Islam dari sebuah kerajaan kecil di Arab menjadi kekuatan dunia yang besar, dengan penaklukan Suriah, Palestina, Mesir, Mesopotamia, dan Iran. Selama ekspansi yang luar biasa ini, Umar mengawasi kebijakan umum dan menetapkan prinsip-prinsip untuk mengelola tanah-tanah yang telah ditaklukkan.” Sistem pemerintahan Khalifah Umar menunjukkan bagaimana negara Islam beralih dari model pemerintahan raja-raja Arab menjadi sebuah kekuatan dunia. Kemenangan-kemenangan yang diraihnya sangat luar biasa, dan setiap kemenangan tersebut dikonsolidasikan dengan kebijaksanaan dan kontrol yang cermat atas semua urusan di wilayah yang dikuasai.
Di balik kharisma kepemimpinannya yang terkenal, Umar bin Khattab adalah sosok yang sangat sederhana. Dalam Al-Matsnawi, Maulana Jalaluddin Rumi menceritakan kisah ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Konstantinopel datang untuk menghadap Khalifah Umar di Madinah. Penasihat itu, seorang filsuf dan negarawan terkemuka, merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. Ia bertanya kepada penduduk Madinah mengenai keberadaan istana Raja mereka.
“Di manakah istana Raja kalian?” tanya sang utusan. Penduduk Madinah itu hanya tersenyum dan menjawab, “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya yang selalu diterangi oleh cahaya takwa.”
Utusan itu semakin penasaran dan bertanya lagi, “Lalu di manakah raja kalian yang terkenal sebagai penakluk dua benua, Persia dan Byzantium?”
“Tidakkah engkau melihat di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati? Seorang lelaki sedang memandikan dan memberi makan seekor unta,” jawab penduduk tersebut.
“Siapakah dia?” tanya sang utusan.
“Itulah sang khalifah kami, Umar ibn Khattab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim dan para janda.”
Mendengar penjelasan itu, utusan tersebut tergerak hatinya. Ia sudah melihat sosok raja besar yang sangat bersahaja.
“Beritahu aku lebih banyak tentang orang mulia itu,” ujarnya.
“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik. Kau akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan,” jawab penduduk itu.
Utusan itu kemudian mendekati Umar dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan seperti itu. “Tidakkah hal ini bisa dilakukan oleh bawahannya?”
Umar menjawab: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa ditinggalkan tanpa perhatian.”
Sang utusan semakin terkesan. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya. Tak lama kemudian, ia pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar.