Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq merupakan salah satu dari generasi awal yang memeluk Islam (assabiqunal awwalun) dan menjadi laki-laki pertama yang menerima Islam setelah Nabi Muhammad. Ia berperan aktif dalam mendakwahkan Islam bersama Nabi Muhammad. Keilmuan, kepandaian dalam berdagang, kebaikan dalam bergaul, serta status sosial yang terpandang menjadi modal penting bagi Abu Bakar untuk mensyiarkan ajaran Islam.
Berkat dakwah Abu Bakar, sejumlah tokoh seperti Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Waqash akhirnya menerima Islam di masa-masa awal. Mereka kelak menjadi sahabat utama Nabi Muhammad.
Abu Bakar dikenal sebagai sosok pemberani. Ia membujuk Nabi Muhammad untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, meskipun awalnya Nabi tidak memperkenankannya karena jumlah umat Islam yang masih sedikit. Namun, setelah didesak oleh Abu Bakar, Nabi Muhammad pun menyetujui. Kaum Muslim pun mulai mengajak kabilah masing-masing untuk memeluk Islam, sementara Abu Bakar berpidato di hadapan masyarakat Makkah, menyerukan mereka untuk menerima ajaran Islam.
Tindakan tersebut memicu kemarahan kaum musyrik Makkah. Ahmad Abdul `Al Al-Thahtawi dalam bukunya “150 Kisah Abu Bakar Al-Shiddiq” mencatat bahwa salah satu pembesar mereka, Utbah bin Rabi’ah, menganiaya Abu Bakar hingga babak belur. Beruntung, kabilah Abu Bakar, Bani Tamim, datang menolongnya dan membawanya pulang untuk dirawat. Melalui perantara Abu Bakar, ibundanya, Ummul Khair, juga langsung mengucapkan kalimat syahadat ketika diajak memeluk Islam.
Abu Bakar memiliki kekayaan yang tidak kurang dari 40 ribu dirham ketika masuk Islam. Ia terus berdagang dan mendapatkan keuntungan yang besar setelahnya. Semua hartanya dipergunakan untuk kepentingan dakwah, melindungi kaum lemah dan budak yang telah memeluk Islam agar terhindar dari penyiksaan majikan mereka. Abu Bakar membeli dan memerdekakan banyak budak yang disiksa karena keislaman mereka, termasuk Bilal bin Rabbah dan lainnya.
Ketika ayahnya mempertanyakan keputusan Abu Bakar yang lebih memilih membebaskan orang-orang lemah daripada mencari pengawal atau pekerja dari orang-orang kuat, Abu Bakar menjawab dengan tegas bahwa tujuan utamanya hanyalah keridhaan Allah.
Sikap Abu Bakar juga terlihat saat peristiwa Isra Mi’raj. Ketika banyak orang meragukan kisah tersebut, termasuk beberapa yang telah memeluk Islam, Abu Bakar langsung percaya dan membenarkan peristiwa itu tanpa ragu. Karena pengalamannya pernah pergi ke Baitul Maqdis, ia diberi julukan ‘As-Shiddiq’ oleh Nabi Muhammad.
Setelah peristiwa tersebut, situasi semakin sulit bagi umat Islam di Makkah. Pada tahun 622 M, Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan umat Islam untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Dalam perjalanan hijrah ini, Abu Bakar memiliki peran besar. Unta yang digunakan Nabi Muhammad dalam perjalanan adalah miliknya. Di tengah perjalanan, ia juga mengirim putranya, Abdullah, kembali ke Makkah untuk mengumpulkan informasi.
Abu Bakar menemani Nabi Muhammad dari Makkah sampai tiba di Madinah, termasuk saat mereka bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Dalam keadaan berbahaya tersebut, Abu Bakar rela mengorbankan diri demi keselamatan Nabi dengan menutup lubang ular agar Nabi bisa tidur dengan tenang.
Dalam langkah awal di Madinah, Nabi Muhammad mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Ansor untuk memperkuat solidaritas di antara umat Islam. Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid dari Suku Khazraj dan tinggal bersama keluarganya di Sunh, pinggiran Kota Madinah.
Abu Bakar merupakan sahabat setia Nabi Muhammad dalam berbagai peperangan dan peristiwa penting lainnya. Saat Perjanjian Hudaibiyah terjadi, banyak sahabat yang menolak perjanjian itu karena dianggap merugikan umat Islam. Namun, Abu Bakar tetap percaya pada kebijaksanaan Nabi Muhammad dan meyakini bahwa perjanjian tersebut adalah langkah yang tepat.
Pada tahun ke-9 H, umat Islam melaksanakan haji ke Makkah dan Nabi Muhammad mengutus Abu Bakar sebagai Amir al-Hajj untuk memimpin rombongan dari Madinah. Beberapa bulan menjelang wafatnya, kesehatan Nabi Muhammad menurun. Pada masa-masa terakhirnya, beliau meminta Abu Bakar untuk menjadi imam shalat menggantikan posisinya yang tidak mampu lagi.
Nabi Muhammad menginginkan Abu Bakar tetap menjadi imam saat beliau hadir di masjid untuk Shalat Shubuh terakhirnya bersama para sahabat. Peristiwa ini menandai momen penting sebelum wafatnya Nabi Muhammad pada hari-hari terakhir kehidupannya.