Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriah dengan cara yang sama seperti yang dilakukan umat Islam hingga kini. Sejarah kewajiban puasa, terutama puasa di bulan Ramadhan, tidak terlepas dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ke Yatsrib (Madinah). Peristiwa ini merupakan titik awal penyempurnaan syariat Islam, termasuk syariat puasa yang berlaku saat ini.
Sebelum ayat tentang kewajiban puasa diturunkan, umat Islam sebelumnya telah berpuasa di hari Asyura, yaitu 10 Muharram. Ketika Nabi Muhammad tiba di Yatsrib, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut. Mereka berpuasa untuk mengenang penyelamatan Nabi Musa dan kaumnya dari Raja Fira’un. Sebagai bentuk syukur kepada Allah, Nabi Musa dan kaumnya berpuasa, yang kemudian diikuti oleh umat Islam.
Awalnya, umat Islam diwajibkan berpuasa hingga waktu maghrib pada 10 Muharram. Setelah berbuka, mereka diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan suami-istri hingga shalat Isya dan tidur. Namun, setelah itu, mereka dilarang makan, minum, atau berhubungan intim sampai waktu berbuka kembali. Praktik ini menyulitkan banyak orang, sehingga banyak yang melanggar larangan tersebut. Akhirnya, Allah SWT menurunkan ayat dalam QS Al-Baqarah ayat 187 yang memperbolehkan umat Islam makan dan minum serta berhubungan intim sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar. Ayat ini disambut gembira oleh umat Islam sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT.
Dari riwayat Imam Baihaqi, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram atau puasa Tasu’a dan Asyura. Ini dilakukan agar puasa umat Islam tidak sama dengan ibadah sunnah puasa umat Yahudi. Selain itu, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Adam juga berpuasa pada 10 Muharram sebagai ungkapan syukur karena diizinkan bertemu istrinya, Hawa, di Arafah.
Setelah turunnya ayat perintah puasa dalam QS Al-Baqarah ayat 183, puasa 10 Muharram bersifat sunnah dan tidak lagi wajib. Sehari sebelum Hari Asyura, yaitu pada 9 Muharram, juga disunnahkan untuk berpuasa.
Keutamaan Puasa Asyura sangatlah besar. Dari riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya. Oleh karena itu, puasa sunnah di bulan Muharram tidak hanya terbatas pada tanggal 9 dan 10 saja. Bulan Muharram merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT dan memiliki banyak amalan sunnah, termasuk puasa.
Beberapa sunnah berpuasa di bulan Muharram dapat dikategorikan menjadi lima: puasa awal Muharram, puasa 1 hari Muharram, puasa 3 hari Muharram (Kamis, Jumat, dan Sabtu), puasa 9 Muharram, dan puasa 10 Muharram.
Imam Ibnu Hajar meriwayatkan sebuah hadits dari Hafshah yang menyatakan bahwa barangsiapa berpuasa di akhir bulan Dzulhijjah dan awal bulan Muharram, maka Allah akan menjadikannya penebus dosanya selama 50 tahun. Selain itu, puasa satu hari di bulan Muharram setara dengan puasa tiga puluh hari.
Imam Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin juga menjelaskan bahwa barangsiapa berpuasa tiga hari di bulan mulia (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharram) pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, maka Allah akan mencatat ibadahnya setara dengan 700 tahun.