- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Hijrah: Momentum Perubahan dan Kebangkitan Umat Islam

Google Search Widget

Setelah Abu Thalib mangkat pada Rajab tahun 10 Kenabian, kaum musyrik Makkah merasa tidak ada lagi halangan untuk menekan Nabi Muhammad SAW sekeras mungkin. Pada masa itu, Nabi mengalami perlakuan yang sangat buruk, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya saat pamannya masih hidup.

Ibn Ishaq mencatat bahwa di antara sikap kasar musyrik Quraisy, seorang di antara mereka tiba-tiba datang dan menaburkan debu ke atas kepala Nabi. Beliau pun masuk ke rumah dengan debu-debu itu masih mengotori kepalanya. Salah satu putrinya membersihkannya sambil menangis. Dalam situasi tersebut, Nabi menghibur putrinya dengan berkata, “Jangan menangis, putriku! Sungguh Allah akan melindungi bapakmu.”

Meski tekanan demi tekanan terus-menerus datang dari kaum musyrik Quraisy, Nabi tetap menyikapi semua itu dengan kelembutan dan ketenangan. Beliau tidak gentar untuk terus menyeru tauhid, tidak peduli seberapa besar bahaya yang mengancamnya, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawanya.

Allah SWT menggambarkan kondisi Nabi dalam firman-Nya, “Boleh jadi Kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka (penduduk Makkah) tidak beriman” (QS al-Syu’ara [26]:3). Beliau tetap teguh memegang kata-katanya selama Abu Thalib masih hidup:

يا عم! والله لو وضعوا الشمش في يميني والقمر في يساري على أن أترك هذا الامر حتى يظهره الله أو أهلك فيه ما تركته

“Duhai Paman! Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan urusan ini, sampai Allah memenangkannya atau aku akan binasa karenanya, aku tidak akan meninggalkannya.”

Secara masif dan terstruktur, Nabi terus berdakwah terutama di musim haji, baik kepada individu maupun kelompok. Perlahan tapi pasti, ajakannya tidak hanya didengar di sudut-sudut kota Mekah, tetapi juga menjangkau jauh hingga Yatsrib (Madinah). Dua peristiwa penting menandai hijrah beliau dari Makkah menuju Madinah: Baiat Aqabah Pertama pada tahun 12 Nubuwwah dan Baiat Aqabah Kedua pada tahun 13 Nubuwwah.

Ketika gerbang Madinah terbuka lebar bagi Nabi dan kaum Muslimin, para sahabat mulai meninggalkan Makkah hingga tidak tersisa seorang pun di sana kecuali Nabi, Abu Bakar, Ali, dan beberapa sahabat yang ditahan oleh musyrik Quraisy. Setelah diperintahkan untuk berhijrah, Nabi meninggalkan rumah pada malam 27 Shafar tahun 13 Nubuwwah (12 atau 13 September 622 M) menuju rumah Abu Bakar. Keduanya berangkat dan bersembunyi di Gua Tsur selama tiga malam. Kemudian pada awal bulan Rabi’ul-Awwal (16 September), beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju Madinah. Ketika meninggalkan Mekah, Nabi berdoa:

اللهم انك تعلم انهم أخرجوني من أحب البلاد إلي فاسكني أحب البلاد اليك

“Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa mereka telah mengusirku dari negeri yang paling aku cintai, maka tempatkanlah aku di negeri yang paling Engkau cintai.”

Dengan dipandu Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan, beliau menyusuri jalur-jalur yang jarang dilalui orang hingga sampai di Qubah pada hari Senin, 8 Rabiul-Awwal (23 September). Setelah menetap selama empat hari, pada hari kelima yaitu hari Jumat, beliau bertolak menuju Madinah dan sampai di sana pada hari yang sama.

Peristiwa hijrah ini menandai awal kebangkitan umat Islam. Ketertindasan yang mereka alami bertahun-tahun di Mekah kini berakhir. Di Madinah, mereka menyongsong kehidupan baru yang dilingkupi sinaran petunjuk dan pertolongan dari Allah.

Dari Madinah, kalimat Allah yang mereka perjuangkan mulai menyebar luas, mengusir kegelapan paganisme dan kesyirikan di Mekah hingga menerangi berbagai belahan dunia. Allah berfirman, “Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Taubah [9]:40).

Di sisi lain, hijrah juga mencerminkan pengorbanan besar Nabi dan para sahabat. Mereka rela menanggung lara berpisah dengan keluarga, meninggalkan harta benda, dan tanah kelahiran demi mempertahankan iman mereka.

Momentum hijrah yang penuh makna ini kemudian ditetapkan sebagai kalender umat Islam pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab. Suatu ketika, seorang utusan dari Yaman menghadap Umar dan menjelaskan tentang kalender yang digunakan di Yaman. Umar lalu mengusulkan untuk membuat kalender Islam.

Setelah melakukan musyawarah, berbagai usulan muncul: sebagian ingin menggunakan peristiwa kelahiran Nabi, lainnya mengusulkan waktu diutusnya Nabi atau waktu wafatnya Nabi. Namun Umar memilih hijrah sebagai titik awal kalender umat Islam karena hijrah merupakan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.

Kemudian muncul pertanyaan tentang bulan apa yang akan dijadikan awal tahun. Beberapa usul bulan Rajab atau Ramadhan, sementara Utsman bin Affan mengusulkan bulan Muharram sebagai bulan suci dan waktu kepulangan haji. Akhirnya ditetapkanlah kalender umat Islam berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, dimulai dari bulan Muharram.

Dengan demikian, penggagas utama tahun Hijriah adalah Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallah ‘anhum. Imam al-Sakhawi menjelaskan bahwa ada empat usulan untuk penanggalan Islam: kelahiran Nabi, waktu diutus, hijrah, dan waktu wafatnya. Namun akhirnya hijrah yang dipilih karena kelahiran dan waktu pengutusan Nabi memiliki perselisihan mengenai tahunnya.

Oleh karena itu, penetapan peristiwa hijrah sebagai awal kalender Islam menjadi penting dan relevan bagi umat Muslim hingga saat ini.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?