Peristiwa hijrah Rasulullah ke Yatsrib (Madinah) dipilih sebagai hari pertama kalender Hijriah, dengan bulan Muharam sebagai bulan pertama. Keputusan ini diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang dikenal inovatif dalam Islam.
Penghitungan kalender Hijriah didasarkan pada peredaran rembulan, bukan peredaran matahari. Meskipun penghitungan berdasarkan rembulan sering menimbulkan perbedaan pendapat dalam menentukan hari-hari tertentu, seperti awal bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan waktu haji, alasan di balik pemilihan ini memiliki akar sejarah yang dalam.
Sebelum mengenal konsep Allah, masyarakat Hijaz pra-Islam sudah memiliki kepercayaan kepada berbagai dewa dari peradaban di sekitarnya. Dalam tradisi mereka, muncul kehendak untuk menciptakan konsep tuhan dari al-Lâta, Dewa Rembulan yang dikenal di Syria. Namun, karena al-Lâta adalah dewa perempuan, masyarakat Hijaz merasa hal ini tidak sesuai dengan karakter maskulinitas mereka. Untuk mengatasi hal ini, mereka menderivasi nama al-Lâta menjadi “Allah” untuk mewakili Tuhan laki-laki.
Dengan kata “Allah” sebagai Tuhan tertinggi, al-Lâta pun diposisikan sebagai salah satu anak perempuan Allah. Mereka merasa telah berhasil memadukan karakter maskulin dan feminin dalam keyakinan mereka, serta menghindari kemarahan al-Lâta. Selain al-Lâta, mereka juga mengagungkan dewa-dewa lain seperti Uzza dan Manat, yang dianggap sebagai anak-anak perempuan Allah.
Rembulan (hilâl) dan bintang (najmah) kemudian menjadi simbol yang dipuja. Hingga kini, banyak negara di Timur Tengah menggunakan simbol rembulan dan bintang dalam bendera mereka. Dengan latar belakang kepercayaan ini, penghitungan kalender berdasarkan rembulan menjadi tradisi yang dilanjutkan setelah kedatangan Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah petunjuk waktu bagi manusia dan ibadah haji'” (Surat Al-Baqarah ayat 189).
Inilah sekilas mengenai penanggalan Hijriah yang berakar pada penghitungan berdasarkan rembulan.