Imam Abu Hasan asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyyah, dikenal sebagai seorang wali agung yang sering disandingkan dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Keduanya memiliki derajat kewalian yang setara, seperti yang diungkapkan oleh al-Qarasyi, “Ketika aku menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dan ketika aku menyebut tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili, karena keduanya memiliki derajat yang sama, dan sirr (rahasia Allah) di dalam keduanya juga sama, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.”
Imam Abu Hasan asy-Syadzili dilahirkan pada tahun 593 H di desa Ghumarah, dekat kota Ceuta di Maroko, dalam keluarga yang taat beragama. Ia diberi nama Ali dan kelak lebih dikenal dengan julukan Abu Hasan asy-Syadzili. Ayahnya adalah Abdulah bin Abdul Jabbar, dan para ahli sejarah sepakat bahwa beliau merupakan keturunan Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah ﷺ.
Postur tubuh Imam Abu Hasan asy-Syadzili kurus dengan jari-jemari panjang dan kulit yang bagus. Ia dikenal sebagai sosok yang fasih berbicara dengan ucapan lembut. Meskipun ia sering mengenakan pakaian indah, ia juga tidak segan untuk memakai pakaian sederhana, namun tidak pernah mengenakan pakaian yang ditambal seperti beberapa kaum sufi lainnya.
Perjalanan keilmuan Imam Abu Hasan asy-Syadzili dimulai ketika ia belajar tasawuf dari Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Harazim di Maroko. Dari guru pertamanya ini, ia mendapatkan pengesahan sebagai pengikut ajaran tasawuf. Ia kemudian melanjutkan studi ke Tunisia dan berguru kepada Syekh Abu Sa’id Khalaf bin Yahya at-Tamimi al-Baji. Kedua guru tersebut adalah murid kesayangan Syekh Abu Madyan al-Maghrabi.
Pada tahun 618 H, Imam Abu Hasan asy-Syadzili berguru kepada Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi, seorang murid dari Syekh Ahmad ar-Rifa’i. Dalam pertemuan tersebut, gurunya memberikan pesan penting untuk mencari wali quthb di Maroko, yang akhirnya membawanya bertemu dengan Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Dalam pertemuan ini, Imam Abu Hasan asy-Syadzili mengalami pengalaman spiritual mendalam yang membawanya pada derajat futuh (terbuka mata hati).
Dalam perjalanan dakwahnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili menghadapi berbagai rintangan, salah satunya adalah fitnah dari Abu Qasim bin Barra’. Awalnya ia berdakwah di ibu kota Tunisia dan menarik perhatian banyak ulama. Namun, kedengkian muncul dari Abu Qasim bin Barra’ yang melaporkan Imam kepada Sultan Abu Zakaria. Setelah melalui perdebatan yang menegangkan antara Imam Abu Hasan asy-Syadzili dan ulama fiqih lainnya, Sultan meminta maaf kepada Imam setelah mengalami musibah kebakaran.
Setelah kejadian itu, Imam Abu Hasan asy-Syadzili memilih untuk pindah ke Mesir. Di Alexandria, kehadirannya menjadi sumber ilmu bagi banyak ulama besar seperti Syekh Izzudin bin Abdissalam dan Syekh Taqiyuddin bin Daqiq al-‘Aid. Salah satu kisah menarik adalah ketika Imam ingin menunaikan haji, tetapi Syekh Izzudin memfatwakan untuk menundanya akibat penyerangan bangsa Tartar. Imam dengan tegas menyatakan keyakinannya untuk tetap pergi haji bersama pengikutnya.
Menjelang akhir hayatnya, Imam Abu Hasan asy-Syadzili mendapatkan isyarat mengenai tempat wafatnya saat bermunajat. Ia berdoa agar wafat di tengah-tengah bangsa Koptik, dan suara Allah menjawab bahwa ia akan diwafatkan di tempat yang tidak pernah digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Dalam perjalanan untuk menunaikan haji, ia jatuh sakit dan memberikan wasiat untuk menjaga Hizb Bahr sebagai bekal spiritual bagi anak-anaknya.
Imam Abu Hasan asy-Syadzili wafat pada tahun 656 H di gurun pasir Humaitsarah, antara Luxor dan Qina. Penerus tarekat Syadziliyyah setelah beliau adalah Abu ‘Abbas al-Mursi. Dalam tarekat yang didirikannya, beliau menetapkan lima dasar penting yang harus diikuti oleh pengikutnya: bertakwa kepada Allah baik dalam keadaan terang maupun samar; mengikuti jejak Nabi Muhammad ﷺ; tidak bergantung pada manusia; ridho dengan pemberian Allah; dan kembali kepada Allah dalam segala keadaan.