Imam Abu Hanifah lahir di Kufah, Irak, pada 80 Hijriyah/699 M dan wafat di Baghdad, Irak, pada 148 H/767 M. Ia merupakan sosok yang lahir di masa sahabat dan tergolong dalam generasi tabi’in. Di masa hidupnya, Imam Abu Hanifah berkesempatan bertemu dengan beberapa sahabat terkemuka Rasulullah.
Dalam menuntut ilmu, Imam Abu Hanifah berguru kepada Hammad bin Sulaiman serta ulama-ulama generasi tabi’in lainnya, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi, budak Ibnu Umar. Sejak belia, ia telah menghafal Al-Quran dan ribuan hadits.
Perlu dicatat bahwa Irak pada zamannya merupakan pusat gerakan dan perubahan sosial-politik dalam Islam. Imam Abu Hanifah menyaksikan peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah. Ia pernah ditawari jabatan hakim oleh Yazid bin Hubairah, gubernur Irak sebelum Marwan bin Muhammad, namun ia menolak tawaran tersebut.
Sebagai pendiri mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah memiliki pengaruh besar dalam kajian fiqih Islam hingga saat ini. Pengikutnya tersebar di berbagai belahan dunia, terutama di Afghanistan. Keilmuan yang mendalam menjadikannya seorang mujtahid yang dihormati.
Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, memasukkan nama Imam Abu Hanifah dalam jajaran mufti di Kota Kufah bersama Hammad bin Abu Sulaiman, Sulaiman bin Muktamar, Sulaiman Al-A’masy, Mis’ar bin Kidam, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Abdullah bin Syabramah, Said bin Asyu’, Syuraik Al-Qadhi, Qasim bin Ma’an, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah sendiri.
Keilmuan Imam Abu Hanifah diakui oleh masyarakat dari berbagai lapisan, terutama kalangan ulama di zamannya. Dengan pengetahuannya yang luas, ia mampu menjawab berbagai masalah baru yang belum pernah dihadapi oleh para fuqaha sebelumnya.
Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha dalam karyanya menggambarkan Imam Abu Hanifah sebagai sosok yang ahli ibadah, zuhud, dan memiliki pengetahuan yang mendalam. Dikatakan bahwa selama 40 tahun, beliau shalat subuh dengan wudhu yang digunakan untuk shalat isya di awal malam.
Sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu malam, ia mendengar seseorang imam membaca surat Az-Zalzalah dalam shalat berjamaah. Karena khusyuk dan sedihnya, ia memegang jenggot hingga terbit fajar. Dalam keadaan meneteskan air mata, ia berkata, “Kita akan dibalas kelak atas amal meski sebesar zarrah.”
Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha yang bermazhab Syafi’iyah mendoakan agar Imam Abu Hanifah senantiasa dilimpahi rahmat dan ridha Allah.