- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kiswah Ka’bah: Sejarah dan Perkembangannya

Google Search Widget

Kiswah atau kain hitam yang menyelimuti Ka’bah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan ini tidak hanya terlihat dari jenis kain dan warna kiswah, tetapi juga dari siapa yang bertanggung jawab untuk menyediakannya, ornamen-ornamen yang menghiasinya, serta waktu pergantiannya.

Saat ini, kain kiswah Ka’bah terbuat dari sutra hitam yang diproduksi oleh pabrik khusus yang didirikan oleh otoritas Arab Saudi. Kain ini diganti setiap tahun pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Banyak pendapat mengenai siapa yang pertama kali menutupi Ka’bah dengan kiswah. Beberapa menyebutkan Nabi Ismail AS hingga Adnan bin Udd, buyut Nabi Muhammad. Namun, catatan sejarah menyebutkan bahwa Raja Dinasti Himyariyah Yaman, Abu Karb As’ad, adalah orang pertama yang menyelimuti Ka’bah dengan kain. Menurut Ali Husni al-Kharbutli dalam bukunya “Sejarah Ka’bah” (2013), Abu Karb As’ad bermimpi menutupi Ka’bah dengan kain dan melakukannya setelah pulang dari peperangan di Yatsrib pada tahun 220 sebelum Hijriyah. Awalnya, ia menggunakan kulit dan kain kasar untuk menutup Ka’bah.

Riwayat lain mengatakan bahwa ia menggunakan daun kurma dan bunga Ma’afir yang wangi, namun khawatir kiswah tersebut akan membebani bangunan Ka’bah, ia menggantinya dengan kain yang dijahit dari Yaman. Pada tahun-tahun berikutnya, banyak orang menghadiahi Ka’bah dengan kain, dan jika satu kain rusak, maka diganti dengan yang baru. Memasang kiswah dianggap sebagai tugas agama dan kehormatan.

Kebijakan terkait kiswah Ka’bah berubah ketika Qushay bin Kilab, buyut Nabi Muhammad, memimpin. Ia meminta setiap suku untuk menyumbang uang guna membeli kiswah setiap tahunnya. Kebijakan ini diteruskan oleh generasi selanjutnya.

Khalid bin Ja’far bin Kilab adalah orang pertama yang menutupi Ka’bah dengan kain sutra, sementara Natilah binti Janab, ibu dari Abbas bin Abdul Muthalib, adalah perempuan pertama yang membuat dan menyelimuti Ka’bah dengan sutra. Konon, Natilah bernazar untuk menutup Ka’bah dengan sutra jika anaknya ditemukan.

Nabi Muhammad adalah orang pertama yang menutupi Ka’bah dengan qabhati, kain putih yang dibuat di Mesir. Saat Fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah), beliau mempertahankan kiswah lama yang digunakan pada zaman Jahiliyah hingga seorang wanita membakarnya saat mencoba mengharumkan Ka’bah dengan dupa. Setelah kejadian itu, Ka’bah ditutup dengan kain dari Yaman bergaris putih dan merah (burud). Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Ustman bin Affan menutupnya dengan kain putih, sementara Abdullah bin Zubair menggunakan brokat merah.

Pada era Dinasti Umayyah, kain kiswah baru diletakkan di atas kain lama sehingga menumpuk. Praktik ini berlanjut hingga periode Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Karena khawatir akan membebani bangunan Ka’bah, al-Mahdi memerintahkan untuk melepaskan kain lama dan menggantinya dengan yang baru setiap tahunnya.

Kebijakan mengenai kiswah kembali berubah di bawah kepemimpinan al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah. Ia mengganti kiswah Ka’bah tiga kali dalam setahun dengan berbagai jenis kain dan warna; sutra merah pada hari tarwiyah, kain qabathi pada awal Rajab, dan sutra putih pada hari ke-27 Ramadhan. Khalifah al-Nassir juga pernah mengubah warna kain kiswah menjadi hijau. Namun pada akhirnya, khalifah Dinasti Abbasiyah memilih sutra hitam karena lebih awet dan tahan lama.

Pembuatan dan penggantian kiswah kemudian dilakukan oleh penguasa Mesir setelah Dinasti Abbasiyah melemah. Mesir telah mendapatkan kehormatan untuk membuat kiswah sejak masa Khalifah Umar bin Khattab yang setiap tahun mengirim surat kepada Gubernur Mesir untuk membuat kiswah Ka’bah qabathi. Seiring berpindah-pindahnya ibu kota Mesir, tempat pembuatan kiswah pun semakin bertambah.

Khalifah Dinasti Fatimiyyah Mesir, al-Muiz li Dinilillah, pada tahun 362 H (972 M) memerintahkan untuk mendirikan tempat khusus pembuatan kiswah di distrik Kharnafasy, Kairo. Dia ingin kiswah yang dibuat lebih baik dari sebelumnya. Kiswah itu dibuat dari sutra merah selebar 144 jengkal, dilengkapi 12 pita emas serta dihiasi hiasan buah utrujah dari emas dan 50 permata sebesar telur burung dara. Biaya pembuatan kiswah pada awal abad ke-20 mencapai 4.550 pound.

Setelah pembuatan kiswah selesai, kain tersebut diserahkan kepada Bani Syaibah yang bertanggung jawab atas pengurusan Ka’bah. Mereka memasangkan kain kiswah baru ke Ka’bah dan menjual kain lama kepada jamaah haji sebagai berkah. Namun kemudian hal ini dilarang oleh otoritas Saudi karena dianggap syirik; akhirnya, kain kiswah lama disimpan di museum.

Pada tahun 1924, suplai kiswah Ka’bah dari Mesir dihentikan dan Raja Abdul Aziz dari Dinasti Saud mengambil alih pembuatan kiswah. Ia memerintahkan untuk membangun pabrik pembuatan kiswah di Ajyad—dekat Masjidil Haram—dan produksi pertama di era Kerajaan Saudi berlangsung pada tahun 1926. Kemudian produksi dipindahkan ke Umm al-Joud.

Pada tahun 1935, pemerintah Mesir dan Arab Saudi membuat perjanjian terkait produksi kiswah. Sejak saat itu hingga tahun 1963, produksi Ka’bah dilakukan di Mesir sebelum Arab Saudi membangun kembali pabriknya. Pada tahun 1972, Fahd bin Abdul Aziz meletakkan batu pertama pabrik kiswah di pinggiran Kota Makkah.

Pabrik yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektare itu diresmikan pada tahun 1977 dan lebih dari 240 orang dipekerjakan di sana. Pabrik ini dilengkapi dengan peralatan modern dan tidak hanya memproduksi kiswah tetapi juga tirai bagian dalam Ka’bah serta kamar Nabi Muhammad hingga saat ini.

Kiswah Ka’bah membutuhkan 670 kilogram sutra berwarna hitam, 120 kilogram benang emas, dan 100 kilogram benang perak. Pada kain hitam tersebut dijahit ayat-ayat Al-Qur’an serta ornamen dengan benang berlapis emas. Ornamen dalam Ka’bah tidak bersifat permanen dan bisa diganti sesuai kebutuhan. Biaya pembuatan kiswah mencapai 17 juta riyal atau setara dengan 66,3 miliar rupiah, termasuk bayaran pengrajinnya.

Menurut Direktur Pusat Sejarah Makkah, Fawaz al-Dahas, faktor keuangan menjadi penyebab perbedaan warna kiswah Ka’bah dari waktu ke waktu. Ia menjelaskan bahwa qabathi dari Mesir adalah salah satu kain terbaik untuk menutupi Ka’bah. Kiswah pernah ditutup dengan warna putih, merah, dan hitam berdasarkan kemampuan finansial pada setiap era.

Kain berwarna putih adalah pilihan paling terang tetapi tidak awet serta mudah sobek dan kotor akibat sentuhan jamaah. Kiswah putih kemudian diganti dengan brokat hitam-putih dan Shimla. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah, kiswah sering diganti setiap kali ada kain yang tersedia.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?