Dzikir, secara harfiah, berarti mengingat Allah SWT melalui berbagai bacaan dan kalimat-kalimat thayyibah. Praktiknya, dzikir bukanlah proses instan. Ia diperoleh melalui pengetahuan yang mendalam, sehingga dzikir seseorang dapat tersambung (wushul) dengan Tuhannya.
Uraian mengenai dzikir banyak dijelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an, termasuk penjelasan mengenai ahli dzikir. Dalam QS Al-Anbiya’ ayat 7 disebutkan:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “Kami tiada mengutus rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Anbiya’: 7)
Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa ahli dzikir adalah orang-orang yang berilmu. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa saja orang-orang berilmu itu?
Dalam bukunya, dijelaskan bahwa ahli dzikir adalah para wali dan para ulama yang memiliki rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT dalam hati mereka. Dengan demikian, manusia yang taat dan memiliki rasa takut kepada Allah juga termasuk dalam kategori ahli dzikir.
Ahli dzikir bukan sekadar orang pintar. Meskipun semua orang pintar tidak berarti mereka adalah ahli dzikir. Ahli dzikir adalah orang yang ‘arif, rijalul ‘arif. Orang ‘arif memiliki ibadah yang baik, yang diakui oleh Allah sebagai pencipta.
Para wali, ulama, dan orang-orang ‘arif merupakan sumber akidah. Mereka membantu umat Islam memahami agama dengan sumber-sumber mutawatir yang dapat dipertanggungjawabkan, hingga terhubung kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat.
Orang-orang yang disebutkan di atas mendapatkan pengakuan dalam Al-Qur’an yang disaksikan oleh Nabi Muhammad, sekaligus diangkat oleh beliau. Kebesaran Al-Qur’an pertama kali disaksikan oleh Nabi Muhammad, dan Al-Qur’an menjadi saksi kebesaran Baginda Nabi. Baginda Nabi juga menjadi saksi bagi kebesaran para sahabat yang diangkat oleh Allah.
Dengan demikian, kebesaran Al-Qur’an yang pertama kali disaksikan oleh Nabi Muhammad menjadikan kebesaran ulama yang dijelaskan dalam Al-Qur’an secara otomatis disaksikan oleh Baginda Nabi. Semua ini menunjukkan adanya hubungan saling menyaksikan antara mereka.