Masyarakat datang dari rumah untuk menghadiri shalat Jumat dan shalat Idul Fitri di masjid atau di tanah terbuka. Mereka umumnya ingin beribadah dengan shalat dua rakaat dan mendengarkan khutbah yang dapat membentuk ketakwaan. Praktik ini telah berlangsung sejak dahulu, 14 abad lalu.
Namun, perjalanan umat Islam kadang terhalang oleh mereka yang menumpangkan kepentingan pribadi maupun kelompok melalui mimbar-mimbar agama. Dalam konteks ini, politisasi agama sering terjadi melalui khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, dan forum keagamaan lainnya yang dihadiri masyarakat. Sayangnya, beberapa khatib melontarkan ujaran kebencian dan caci maki terhadap lawan politik mereka.
Fenomena ini bukanlah hal baru yang muncul dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, melainkan sudah terjadi sejak masa awal pemerintahan Bani Umayyah. Penyebutan kembali politisasi agama sebagai kekonyolan dan kebodohan di masa lalu bukan untuk membenarkan praktik serupa saat ini, tetapi sebagai peringatan agar kita tidak mengulangi catatan hitam sejarah umat Islam.
Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Bani Umayyah. Ia memerintah dari tahun 661 hingga 680 M, dan dikenal karena kebijakannya yang meminta para khatib untuk menyelipkan caci maki serta ujaran kebencian terhadap Sayyidina Ali RA di dalam khutbah mereka. Kebijakan ini menjadi tradisi yang diikuti oleh penguasa Bani Umayyah selanjutnya.
Politisasi agama melalui caci maki dan ujaran kebencian juga merembet ke dalam khutbah Idul Fitri. Khutbah yang sebenarnya tidak wajib didengarkan (meski sangat disunnahkan) dimanipulasi untuk kepentingan politik. Gubernur Madinah pada masa Muawiyah, Marwan bin Al-Hakam, mengubah urutan khutbah Idul Fitri dengan menempatkannya sebelum shalat dua rakaat, agar masyarakat tetap mendengarkan meskipun mereka enggan.
Tradisi khutbah yang berisi caci maki ini bertahan setelah masa Muawiyah dan Marwan bin Al-Hakam hingga Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa. Khalifah yang terkenal zuhud dan bijaksana ini mencabut regulasi tersebut dan mengganti sesi caci maki dengan bacaan Surat An-Nahl ayat 90. Keputusan Umar bin Abdul Aziz mengakhiri tradisi caci maki dalam khutbah selama kurang lebih 50 tahun di masa Dinasti Bani Umayyah.
Sejak saat itu, khatib Jumat dan khatib Idul Fitri hampir selalu membaca Surat An-Nahl ayat 90. Namun, nafsu kekuasaan baik dari para politisi maupun masyarakat partisan tetap mendorong beberapa khatib untuk kembali melakukan politisasi agama melalui khutbah. Hal ini menuntun mereka untuk mengulangi kesalahan yang telah berlalu, sehingga menciptakan friksi yang tidak perlu di tengah umat Islam. Wallahu a‘lam.