Saat-saat yang sangat mempengaruhi kehidupan Nabi Muhammad SAW dan umatnya terjadi ketika beliau menyendiri dan merenung di Gua Hira. Momen tersebut merupakan awal dari penemuan malam Lailatul Qadar.
Ketika jiwa Nabi Muhammad telah mencapai kesucian, turunlah al-Ruh, yaitu Jibril, untuk membimbing beliau dengan ajaran yang akan mengubah perjalanan hidupnya, bahkan perjalanan hidup umat manusia. Dari kisah ini, kita dapat memahami bahwa Lailatul Qadar tidak bisa diraih oleh sembarang orang.
Malam Lailatul Qadar hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mempersiapkan diri dengan kebaikan dan kemuliaan hati. Oleh karena itu, kehadiran malam yang dapat mengubah hidup seseorang menuntut peran aktif dalam beramal, beribadah, melakukan kebaikan, dan menyucikan jiwa.
Ulama Tafsir, Muhammad Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (1999), mengilustrasikan bahwa kedatangan malam yang mulia ini mirip dengan tamu agung yang berkunjung ke suatu tempat, namun tidak semua orang di sana dapat menemui tamu tersebut meskipun mereka merindukannya.
Begitu pula dengan Lailatul Qadar. Bulan Ramadhan menjadi waktu kehadirannya karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa. Rasulullah SAW memperkirakan bahwa Lailatul Qadar akan datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Pada saat itu, diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya mencapai kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu untuk berkunjung.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad menganjurkan i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Beliau selalu melaksanakan i’tikaf, bertadarus, merenung, dan berdoa. Salah satu doa yang paling sering beliau panjatkan adalah:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Doa ini bukan sekadar permohonan untuk memperoleh kebajikan, tetapi juga sebagai upaya untuk memantapkan langkah dalam meraih kebajikan tersebut. Permohonan ini harus disertai dengan usaha.
Dampak dari doa ini tidak hanya untuk mendapatkan kebajikan di dunia, tetapi juga agar kebajikan tersebut berlanjut hingga hari kemudian. Hal ini selaras dengan hakikat malam Lailatul Qadar yang kebaikannya bersifat tanazzalul (berkesinambungan), seperti yang dinyatakan dalam QS Al-Qadr.
Jika seseorang berhasil meraih hal tersebut, maka jelas ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. Ini menjelaskan mengapa Rasulullah SAW merujuk pada doa tersebut ketika istri beliau menanyakan doa apa yang perlu dibaca saat merasakan kehadiran Lailatul Qadar.
Terkait dengan turunnya malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Qadr ayat 4, “Tanazzalul malaikatu war ruhu fiha bi idzni rabbihim minkulli amr” (pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan).
Ketika malam Lailatul Qadar menemui mereka yang mempersiapkan diri untuk menyambutnya, mereka akan disertai oleh malaikat. Hal ini menyebabkan hati mereka selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwa mereka akan merasakan kedamaian yang tak terbatas hingga fajar malam Lailatul Qadar, bahkan terus berlanjut hingga akhir hayat menuju kehidupan baru di hari kemudian.