Sayyidah Aisyah dikenal sebagai sosok yang cerdas, berwawasan luas, serta memiliki daya tangkap dan ingatan yang kuat. Ia menjalani kehidupan sebagai pasangan suami-istri dengan Nabi Muhammad selama sembilan tahun. Dalam waktu tersebut, ia banyak belajar langsung dari Nabi dan berhasil mengumpulkan sebanyak 2.210 sanad hadits. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah banyak berkaitan dengan hukum Islam, sehingga menjadi rujukan penting bagi para ulama.
Lebih dari sekadar seorang intelektual, Sayyidah Aisyah juga merupakan seorang aktivis yang membela hak, kewajiban, dan kehormatan perempuan. Banyak kaum Muslimah yang datang mengadu kepadanya mengenai masalah rumah tangga dan isu keperempuanan, dan Sayyidah Aisyah selalu berusaha memberikan solusi untuk setiap permasalahan tersebut.
Dalam berbagai kisah yang ada, terlihat betapa Sayyidah Aisyah memperjuangkan hak-hak perempuan, baik secara langsung maupun tidak. Salah satunya, ketika seorang wanita mendatangi Sayyidah Aisyah dan mengeluhkan bahwa ayahnya ingin menikahkannya dengan keponakannya, meski ia tidak setuju. Sayyidah Aisyah menyampaikan keluhan tersebut kepada Nabi Muhammad, yang kemudian memanggil ayah wanita tersebut untuk membahas permasalahan ini. Pada akhirnya, wanita itu mengizinkan keputusan ayahnya, namun ia ingin agar hal ini menjadi pelajaran bagi perempuan lain bahwa ayah tidak memiliki hak untuk memilihkan suami untuk anak perempuannya.
Pada kesempatan lain, Khaulah binti Tsa’labah mengadukan perlakuan suaminya kepada Nabi Muhammad. Suaminya telah melakukan zihar, yaitu ucapan yang menyamakan istrinya dengan ibunya, yang berarti talak. Hal ini mendorong turunnya QS. Al-Mujadalah ayat 1, yang menegaskan bahwa Allah mendengarkan gugatan istri terhadap suaminya.
Dalam situasi lainnya, seorang wanita yang merupakan istri Tsabit bin Qais melaporkan bahwa suaminya telah memukulnya hingga wajahnya terluka. Nabi Muhammad kemudian mendatangkan Tsabit dan menyarankan agar wanita tersebut mengambil sebagian harta suaminya dan meminta cerai. Pada masa itu, suami bisa menceraikan istri secara sewenang-wenang. Hal ini tentu sangat menyiksa perempuan. Sayyidah Aisyah mendengarkan keluhan seorang wanita yang diceraikan secara berulang kali oleh suaminya. Ketika mengadukan hal ini kepada Nabi Muhammad, turunlah QS. Al-Baqarah ayat 229 yang mengatur tentang talak dan rujuk.
Sayyidah Aisyah juga menunjukkan keberaniannya dalam menentang pandangan yang merendahkan perempuan. Suatu ketika, ada seseorang yang menyatakan bahwa shalat batal jika ada keledai, anjing, dan wanita di hadapannya. Mendengar hal tersebut, Sayyidah Aisyah marah dan mempertanyakan alasan di balik pernyataan itu. Ia mengingatkan orang tersebut bahwa dirinya pernah berada di samping Nabi Muhammad saat beliau shalat malam dan tidak mengganggu ibadahnya.
Selain itu, Sayyidah Aisyah juga menegur Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda tentang kesialan pada wanita, hewan ternak, dan rumah. Ia meluruskan bahwa pernyataan itu berasal dari kaum Jahiliyah dan bukan dari Nabi. Sayyidah Aisyah kemudian membaca firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 22 yang menegaskan bahwa segala musibah telah tertulis sebelum diciptakan.
Dengan sikap tegasnya, Sayyidah Aisyah menjadi panutan bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka serta menegakkan keadilan dalam masyarakat.