Sayyidah Aisyah hidup bersama Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih sembilan tahun hingga beliau wafat. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang dipenuhi keridhaan dan kasih sayang. Sayyidah Aisyah memiliki kedudukan istimewa di hati Nabi, bahkan beberapa sahabat menyebutnya sebagai ‘kekasih Rasulullah’.
Suatu ketika, Sayyidah Aisyah bertanya kepada Nabi tentang cinta beliau kepadanya. Nabi menjawab bahwa cintanya kepada Aisyah bagaikan ‘simpul tali’ yang tak pernah berubah. Beliau pun meminta para sahabat untuk mencintai Aisyah dan tidak menyakitinya.
Keduanya sering menunjukkan kemesraan, baik melalui ucapan maupun tindakan. Nabi sering memanggil Aisyah dengan sebutan sayang seperti Humaira, yang berasal dari kata hamra, berarti putih kemerah-merahan. Kadang-kadang, beliau juga menyapa Aisyah dengan panggilan ‘Aisy’, menggunakan gaya bahasa tarkhim. Ketika Aisyah marah, Nabi akan mencubit hidungnya dan memanggilnya Uways.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hibban, Sayyidah Aisyah mengaku pernah mandi junub bersama Nabi, di mana mereka bergantian mengambil air dari satu bejana. Nabi juga pernah mencium Aisyah meskipun mereka sedang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Di samping itu, Aisyah sering diajak bermain oleh Nabi; teman-temannya didatangkan ke rumah untuk bermain bersama, dan ia digendong Nabi saat menonton pertunjukan tari.
Namun, kehidupan rumah tangga mereka juga tidak lepas dari masalah. Cemburu, kabar bohong, dan persoalan ekonomi menjadi tantangan dalam hubungan mereka. Sayyidah Aisyah menegaskan bahwa ia tidak cemburu kepada istri-istri Nabi lainnya, kecuali Sayyidah Khadijah. Meskipun Khadijah telah wafat, Nabi tetap sering menyebut namanya dan menunjukkan perhatian yang lebih ketika bertemu sahabat atau benda yang pernah dimiliki Khadijah.
Di sisi lain, Sayyidah Aisyah menjadi sumber kecemburuan bagi istri-istri Nabi lainnya. Para sahabat kerap kali memberikan hadiah saat Nabi berada di rumah Aisyah tetapi tidak ketika di rumah istri lainnya. Hal ini membuat Ummu Salamah mewakili ummul mukminin lainnya mengadu kepada Nabi agar hadiah diberikan merata. Nabi menjawab bahwa beliau tidak ingin ada yang menyakiti hatinya terkait Aisyah.
Persoalan nafkah juga menjadi bagian dari dinamika rumah tangga Nabi. Istri-istri Nabi, termasuk Sayyidah Aisyah, pernah meminta tambahan nafkah. Mereka mengeluhkan kehidupan yang sangat berat, sampai-sampai selama tiga bulan tidak pernah melihat nyala api di rumah mereka, hanya bertahan hidup dengan kurma dan air. Ketika mereka mengadu kepada Nabi, beliau marah dan tidak menemui mereka untuk beberapa saat sampai turun wahyu dari Allah dalam QS. al-Ahzab ayat 28-29 yang meminta mereka memilih antara hidup sederhana bersama Nabi atau diceraikan dengan cara baik.
Sayyidah Aisyah tanpa ragu memilih untuk tetap bersama Nabi Muhammad, keputusan yang diikuti oleh istri-istri lainnya.
Kehidupan mereka juga terganggu oleh fitnah atau kabar bohong (hadits al-ifki). Sepulang dari Bani Musthaliq, Sayyidah Aisyah meminta izin untuk buang hajat dan saat kembali menyadari kalungnya hilang. Ia mencari kalung tersebut dan tak lama kemudian menemukan bahwa rombongan sudah pergi tanpa menyadarinya. Shafwan ibn Muaththal menemukan Aisyah dan mengantarnya kembali ke rombongan.
Namun, musuh-musuh Nabi memanfaatkan situasi ini untuk menuduh Sayyidah Aisyah berselingkuh dengan Shafwan. Tuduhan ini cukup mengganggu hubungan mereka; Nabi bersikap dingin kepada Aisyah dan mengumpulkan sahabat untuk mendiskusikan masalah tersebut.
Setelah sebulan berlalu, Allah membela Sayyidah Aisyah dengan menurunkan wahyu dalam QS an-Nur ayat 11-21 yang menyucikannya dari tuduhan tersebut. Kisah ini menjadi salah satu yang paling dikenal terkait dengan Sayyidah Aisyah dan menggambarkan betapa kuatnya cinta dan komitmen antara beliau dan Nabi Muhammad SAW.