- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kejadian Sejarah Fathu Makkah: Kemenangan Nabi Muhammad dan Kaum Muslimin

Google Search Widget

Dalam fase dakwah Islam di Makkah, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menghadapi ancaman serius, termasuk pembunuhan dari kaum Quraisy. Banyak yang menderita dan bahkan kehilangan nyawa demi mempertahankan iman mereka sebagai umat Nabi Muhammad.

Melihat situasi yang semakin genting, Nabi beserta sahabat-sahabatnya memutuskan untuk melakukan hijrah besar-besaran ke Kota Yatsrib (Madinah). Mereka meninggalkan berbagai properti dan harta benda, termasuk warisan dari istri tercintanya, Khadijah radhiyallahu ‘anha, seperti rumah dan tanah, demi menyelamatkan umat Islam dan misi besar yang sedang diemban.

Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad berfokus pada penguatan komunitas Muslim sekaligus melakukan syiar Islam kepada suku-suku di sekitarnya dan juga ke negeri-negeri lain. Langkah strategis ini diambil sambil merencanakan untuk merebut kembali Kota Makkah. Akhirnya, peristiwa bersejarah Fathu Makkah atau Pembebasan Kota Makkah terjadi, dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad bersama para pengikutnya.

Pasukan Nabi Muhammad memiliki kekuatan yang luar biasa dalam peristiwa Fathu Makkah. Hal ini sangat disadari oleh kaum Quraisy yang saat itu dipimpin oleh Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang mendalam membuat pembebasan Kota Makkah berlangsung tanpa pertumpahan darah.

Revolusi ini tidak hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga memberi kesempatan kepada seluruh kaum kafir untuk masuk dalam perlindungan Nabi, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya memeluk Islam.

Dalam buku “Khutbah Imam-imam Besar” yang ditulis oleh Prof KH Nasaruddin Umar (2018), dijelaskan bahwa di tengah kemenangan tersebut, Abu Sufyan dan para pemuka Quraisy menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Nabi kemudian meminta para pemimpin pasukannya untuk mengumumkan bahwa hari itu adalah hari kasih sayang.

Terdapat suatu riwayat yang menggambarkan peristiwa setelah perang berakhir. Tiba-tiba, seorang musuh berusaha memasuki wilayah pasukan Muslim. Usama bin Zaid bin Haritsah, yang masih muda dan dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi, berhasil mengejar musuh tersebut.

Musuh terjebak di tebing dan jurang tanpa jalan keluar. Dalam keadaan terdesak, ia meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Meskipun terkejut, Usamah tidak ingin terjebak dalam taktik musuh tersebut, sehingga ia tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.

Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah telah membunuh musuh yang sudah mengucapkan syahadat. Mendengar laporan itu, Nabi terlihat marah, dengan urat di dahinya menonjol.

Nabi kemudian memanggil Usamah dan menanyakan alasannya membunuh orang yang telah bersyahadat. Usamah menjelaskan bahwa tindakan musuh tersebut diduga hanya sebagai taktik semata, karena ia masih membawa senjata yang bisa membahayakan pasukan Muslim. Oleh karena itu, Usamah merasa syahadat musuh tersebut tidak tulus.

Setelah mendengarkan penjelasan Usamah dengan seksama, Nabi Muhammad bersabda: “Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair” (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?