Sayyidah Maimunah adalah sosok perempuan yang memiliki peranan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan putri dari al-Harits bin Hazan bin Jubair al-Hilaliyah dan Hindun bin Auf bin Zubair bin Harits. Terkenal sebagai salah satu perempuan awal yang memeluk Islam, Maimunah sebelumnya dikenal dengan nama Barrah sebelum Nabi Muhammad menggantinya menjadi Maimunah, yang berarti impian, harapan, dan keberkahan, setelah menikahinya.
Sebelum menjadi istri Nabi Muhammad, Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi, namun pernikahan tersebut tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza dari Bani Amir bin Lu’ay. Namun, setelah suaminya yang kedua wafat, Maimunah kembali hidup sebagai janda.
Maimunah memiliki hubungan dekat dengan Nabi Muhammad, karena saudara perempuannya, Lubabah al-Kubra, merupakan istri dari paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib. Lubabah al-Kubra, yang dikenal sebagai Ummu Fadhl, adalah perempuan kedua yang masuk Islam setelah Sayyidah Khadijah. Maimunah dan Lubabah al-Kubra hidup bersama setelah kepergian suami Maimunah.
Dalam catatan sejarah, Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Ia merasa gembira ketika pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam peperangan. Suatu ketika, Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra tentang rasa cintanya kepada Nabi Muhammad dan kesediannya untuk menikahinya.
Lubabah al-Kubra kemudian menyampaikan perasaan Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Abbas meneruskan informasi ini kepada Nabi Muhammad, yang kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Maimunah. Lamaran tersebut disambut baik oleh Maimunah yang saat itu berusia 26 tahun.
Pernikahan ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah, saat Nabi Muhammad tengah melaksanakan umrah al-qadha. Sebelumnya, kaum Muslim tidak dapat memasuki Makkah pada tahun 6 Hijriyah karena larangan dari kaum musyrik. Melalui Perjanjian Hudaibiyah, mereka akhirnya diizinkan memasuki Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya selama tiga hari.
Di hari ketiga kedatangan mereka di Makkah, dua utusan kaum musyrik mengingatkan Nabi Muhammad akan isi perjanjian tersebut. Sa’ad bin Ubadah marah mendengar hal itu, sedangkan Nabi Muhammad meminta waktu tambahan untuk mengadakan pesta pernikahan setelah menikahi Maimunah. Namun tawaran ini ditolak oleh utusan tersebut.
Setelah peristiwa tersebut, Nabi Muhammad memerintahkan pasukan Islam untuk bersiap meninggalkan Makkah dan meminta pembantu Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Rafi, untuk mengawal Sayyidah Maimunah keluar dari kota itu. Mereka bertemu di daerah Saraf, sekitar 10 kilometer dari Makkah, di mana Nabi merayakan pernikahan mereka sebelum kembali ke Madinah.
Ada beberapa alasan mengapa Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Maimunah. Pertama, perasaan Maimunah yang disampaikan oleh Abbas membuatnya tidak wajar untuk menolak. Selain itu, hubungan kekeluargaan antara Maimunah dan istri-istri Nabi lainnya juga menjadi pertimbangan. Terakhir, pernikahan ini bertujuan untuk memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di Makkah.
Sayyidah Maimunah dikenal sebagai wanita yang taat beragama dan bijaksana. Ia juga termasuk di antara istri-istri Nabi yang banyak meriwayatkan hadits, dengan jumlah mencapai 94 hadits. Saat Nabi Muhammad sakit menjelang wafatnya, ia dirawat di rumah Sayyidah Maimunah sebelum dipindahkan ke kamar Sayyidah Aisyah sesuai kesepakatan di antara istri-istri Nabi.
Setelah meninggal dunia pada tahun 51 Hijriyah (atau tahun 60 atau 63 H menurut beberapa riwayat), Sayyidah Maimunah dimakamkan di Saraf. Ia dikenang sebagai sosok yang taat beragama dan memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam.