Nabi Muhammad SAW menikahi Sayyidah Saudah binti Zam’ah al-Amiriyyah setelah wafatnya istrinya yang pertama, Sayyidah Khadijah. Rencana pernikahan ini bukan berasal dari Nabi Muhammad, melainkan dari Khaulah binti Hakim, sahabat Sayyidah Khadijah. Khaulah merasa prihatin melihat Nabi Muhammad yang hidup sendiri tanpa pendamping setelah kepergian Khadijah. Dia kemudian menemui Nabi dan memberikan saran agar beliau menikah lagi agar ada yang menemani, merawat, dan menghibur beliau. Khaulah menyebutkan dua nama: Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar.
Singkatnya, Nabi Muhammad mengutus seorang wanita untuk melamar Saudah, dan keduanya menikah pada bulan Syawwal tahun ke-10 H. Sementara itu, Nabi Muhammad meminang Aisyah tetapi menundanya, karena pada saat itu Aisyah masih kecil. Tiga tahun setelah pernikahan dengan Saudah, Nabi Muhammad baru menikahi Aisyah.
Menurut buku “Bilik-bilik Cinta Muhammad,” dengan menikahi Saudah, Nabi Muhammad ingin meringankan beban hidupnya, meningkatkan derajat Saudah, dan melindunginya dari fitnah kaum musyrik di Makkah. Saudah adalah janda dari Sakran bin Amr bin Abd Syam, yang meninggal saat hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Dia kembali ke Makkah bersama lima atau enam anaknya.
Meskipun banyak yang menyebut Saudah tidak cantik karena usianya yang tidak muda dan tubuhnya yang tidak langsing, dia memiliki banyak keistimewaan. Saudah dikenal sebagai orang yang dermawan, rajin shalat, dan puasa. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda kepada para istrinya bahwa istri yang paling cepat menyusul beliau wafat adalah yang ‘bertangan panjang,’ yang merujuk pada Saudah. Dia memang adalah istri Nabi yang paling awal wafat dibandingkan istri-istrinya yang lain, meninggal pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab dan dimakamkan di pemakaman Baqi di Madinah.
Saudah juga dikenal memiliki sifat periang. Kehadirannya mampu membawa ketentraman dan kebahagiaan dalam kehidupan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Saudah menjadi satu-satunya istri Nabi dalam waktu yang cukup lama antara kematian Khadijah dan sebelum pernikahan Nabi dengan Aisyah.
Selain itu, Saudah memiliki rasa humor yang tinggi. Sering kali, guyonannya membuat Nabi Muhammad tertawa. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu ketika Saudah berkata kepada Nabi, “Semalam ketika aku shalat mengikutimu saat rukuk, engkau begitu lama sehingga aku memegang hidungku takut sampai bercucuran darah.” Mendengar itu, Nabi Muhammad pun tertawa.
Namun, ada tantangan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Saudah merasa sedih atas meninggalnya sejumlah musyrik Makkah dalam Perang Badar. Ketika melihat tawanan perang diikat tangan mereka, dia merasa iba, terutama terhadap iparnya, Suhail bin Umar. Dalam keadaan emosional, Saudah memberikan motivasi kepada tawanan musyrik agar melawan kaum Muslim. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, dia merasa menyesal karena tahu bahwa Nabi Muhammad mendengar ucapannya. Saudah pun meminta maaf kepada nabi, dan beliau menerima permintaannya serta berkomentar bahwa ucapan tersebut tidak sepatutnya diucapkan.
Suatu ketika, Nabi Muhammad berencana untuk menceraikan Saudah karena masalah rumah tangga. Menurut Ibnu Hazm al-Andalusi, alasan Nabi adalah karena Saudah sudah uzur dan beliau khawatir tidak dapat memenuhi hak-haknya. Namun, Saudah meminta agar Nabi tidak menceraikannya, berharap untuk merawat beliau hingga akhir hayat dan mendapatkan keridhaan beliau. Dia bahkan merelakan hari gilirannya untuk Aisyah. Permohonan Saudah diterima, dan Nabi pun membatalkan niatnya untuk menceraikannya.