- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kebebasan Beragama dalam Perspektif Sejarah Islam

Google Search Widget

Keteladanan dalam menjaga kemerdekaan agama dan menjamin kebebasan beragama tidak hanya ditunjukkan oleh Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, tetapi juga menjadi contoh yang nyata dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Salah satu sosok yang mencerminkan kebebasan beragama ini adalah Raihana binti Zaid bin ‘Amr bin Khanafah. Ia merupakan seorang ummul mukminin atau istri Nabi Muhammad SAW, yang berasal dari klan Bani Nadhir dan beragama Yahudi. Raihana menjadi tawanan dan kemudian masuk Islam, sebelum akhirnya dipersunting oleh Nabi Muhammad SAW.

Mengenai asal-usul Raihana, para sejarawan memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Katsir, ada perbedaan pendapat mengenai latar belakangnya. As-Shalihi menyebutkan bahwa Raihana berasal dari klan Bani Nadhir, sementara ada sejarawan lain yang mengaitkannya dengan Bani Quraizhah. Menurut ensiklopedi Al-A‘lam karya Khairuddin Az-Zirikli, Raihana menjadi pasangan hidup Nabi Muhammad SAW hingga wafatnya. Ia meninggal setelah pulang dari haji wada’ pada tahun 10 H dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ Al-Gharqad, Kota Madinah.

Sejarawan Islam terkemuka, Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al-Muthallibi Al-Madani, atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Ishaq, mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW sangat menghormati Raihana, meskipun ia lebih memilih untuk tetap menganut agama Yahudi pada saat itu. Ibnu Ishaq menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW berusaha membujuk Raihana untuk masuk Islam dan menikahinya, tetapi Raihana menolak. Ia dengan tegas mempertahankan keyakinan Yahudi sebagai agamanya.

Dalam sebuah kisah yang diungkapkan Ibnu Hisyam, ada dialog antara Raihana dan Nabi Muhammad SAW:

يَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَلْ تَتْرُكُنِي فِي مِلْكِكَ فَهُوَ أَخَفُّ عَلَيَّ وَعَلَيْكَ، فَتَرَكَهَا

Artinya, “Wahai Rasulullah SAW, lebih baik Anda biarkan saya dalam akad milkul yamin Anda (tidak menjadi istri dengan akad pernikahan), sebab hal itu lebih ringan bagi saya dan bagi Anda.” Dengan demikian, Rasulullah SAW menghormati pilihan Raihana untuk tetap berpegang pada keyakinannya.

Penolakan Raihana sempat membuat Rasulullah SAW merasa gundah. Namun, berita gembira datang ketika Tsa’labah bin Sa’yah dari klan Bani Hadal mengabarkan bahwa Raihana akhirnya memeluk Islam. Kabar ini membawa kebahagiaan bagi Rasulullah SAW.

Mufti Mesir, Prof DR Syekh Ali Jum’ah, menjelaskan bahwa meskipun Raihana awalnya menolak untuk masuk Islam, Rasulullah SAW tidak memaksanya. Penolakannya membuat Rasulullah SAW sedih, namun kesadarannya untuk memeluk Islam kemudian membuatnya bahagia. Dalam kedua kondisi tersebut, Rasulullah SAW tetap menghormati kebebasan beragama Raihana.

Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya nilai kebebasan beragama dalam Islam. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengganggu kebebasan beragama, bahkan kepada wanita yang dicintainya.

Saat ini, patut kita renungkan: apakah kita telah meneladani sikap Rasulullah SAW atau justru sebaliknya? Apakah kita terjebak dalam ujaran kebencian, persekusi, dan intimidasi terhadap orang lain karena perbedaan agama? Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?