- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Perceraian dan Hak Perempuan dalam Islam

Google Search Widget

Para sahabat Nabi Muhammad sering mengadukan berbagai persoalan yang mereka hadapi, baik yang berkaitan dengan keagamaan, kemasyarakatan, maupun keluarga, termasuk permasalahan perceraian. Mereka menganggap Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang diutus untuk membimbing umat sesuai dengan syariat-Nya. Nabi Muhammad menerima setiap aduan dengan penuh perhatian. Ia mendengarkan, memeriksa persoalan yang dihadapi, dan mencarikan solusi yang terbaik.

Dalam Sejarah Madinah dan Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad, terdapat kisah beberapa sahabat perempuan yang datang kepada Nabi Muhammad untuk meminta cerai dari suami mereka karena sudah tidak lagi mencintai. Di antara mereka adalah Jamilah binti Ubay bin Salul, Habibah binti Sahl al-Asariyah, dan Barirah, mantan budak Sayyidah Aisyah.

Ketika Jamilah mengadu kepada Nabi Muhammad tentang suaminya, Tsabit bin Qais, ia mengungkapkan bahwa meskipun agama suaminya baik, perasaannya telah berubah. Jamilah merasa tidak bisa menghargai hak-hak suaminya dan khawatir akan ketidaksetiaan. Nabi kemudian bertanya apakah Jamilah bersedia mengembalikan mahar yang diterimanya, dan Jamilah menjawab dengan tegas bahwa ia bersedia. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Nabi Muhammad menyadari bahwa keduanya tidak dapat hidup harmonis lagi dan akhirnya meminta Tsabit bin Qais untuk menerima perceraian.

Barirah juga mengalami situasi serupa. Ia menikah dengan seorang budak bernama Mughits yang sangat mencintainya, tetapi Barirah tidak memiliki perasaan yang sama. Setelah Sayyidah Aisyah memerdekakan Barirah, ia merasa bebas untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk untuk tidak melanjutkan pernikahan dengan Mughits. Keputusan ini membuat Mughits merasa sangat sedih dan terus berusaha untuk meyakinkan Barirah agar mau kembali bersamanya. Nabi Muhammad kemudian bertanya kepada Barirah apakah ia bersedia hidup bersama kembali dengan Mughits, namun Barirah dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak membutuhkannya lagi.

Di lain waktu, Nabi Muhammad juga menerima keluhan dari seorang wanita yang merasa orang tuanya menikahkannya tanpa meminta persetujuannya. Meskipun wanita tersebut ridha dengan keputusan orang tuanya, ia ingin menegaskan bahwa pernikahan seharusnya melibatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad menunda kontrak pernikahan yang dilaksanakan tanpa izin dari si anak perempuan.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menekankan bahwa “janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya dengan cara diam.” Pernyataan ini menunjukkan pentingnya hak perempuan dalam hal pernikahan dalam Islam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?