- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Kesedihan Nabi Muhammad SAW

Google Search Widget

Nabi Muhammad SAW memiliki tiga anak laki-laki. Dua dari mereka, Sayyidina Al-Qasim dan Sayyidina Abdullah, merupakan hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad juga memiliki dua anak laki-laki lain bernama at-Thayyib dan at-Thahir. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa kedua nama tersebut adalah julukan dari Abdullah.

Al-Qasim lahir di Makkah sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. Sebagai putra pertama, Nabi dijuluki Abul Qasim, namun kebersamaan mereka tidak berlangsung lama. Al-Qasim meninggal dunia pada usia dua tahun.

Beberapa tahun kemudian, Nabi Muhammad dikaruniai anak laki-laki lagi, yaitu Sayyidina Abdullah, yang merupakan anak keenam dari Sayyidah Khadijah setelah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Abdullah lahir di Makkah setelah Nabi diangkat menjadi Rasul. Sayangnya, seperti Al-Qasim, Abdullah juga wafat saat masih kecil.

Kehilangan Al-Qasim dan Abdullah meninggalkan duka mendalam bagi Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Tidak ada yang mampu menghapus kesedihan Nabi kecuali wahyu yang diterimanya, yang mendorongnya untuk menjalankan tugas sebagai Rasulullah. Informasi mengenai kehidupan Nabi Muhammad dengan kedua anaknya tersebut sangat terbatas.

Setelah itu, Nabi Muhammad menjalin rumah tangga dengan Mariyah Al-Qibtiyyah, dan dari pernikahan ini lahirlah Sayyidina Ibrahim pada tahun 8 Hijriyah di Madinah. Kelahiran Ibrahim membawa kebahagiaan dan harapan bagi Nabi Muhammad, yang berharap putranya itu akan tumbuh dewasa dan menjadi kebanggaannya.

Sesuai tradisi Arab saat itu, Nabi Muhammad mencari ibu susuan untuk Ibrahim. Dalam buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), Nabi memilih Khualah binti Mundzir bin Zaid dari Najjar untuk menyusui Ibrahim. Sebelumnya, banyak wanita Anshar yang bersaing untuk menjadi pilihan Nabi.

Sejak itu, Nabi Muhammad dan Ibrahim tinggal terpisah; Nabi tinggal di samping Masjid Nabawi di Madinah, sementara Ibrahim bersama ibu susuannya di dataran tinggi Madinah. Namun, setiap hari Nabi mengunjungi Ibrahim, bercanda dan berbincang lembut dengannya.

Suatu ketika, Nabi membawa Ibrahim ke Kota Madinah dan memperkenalkannya kepada para istri dan sahabatnya. Selama satu setengah tahun, Ibrahim tumbuh sehat dan kuat. Namun, sama seperti Al-Qasim dan Abdullah, Ibrahim wafat pada tahun ke-10 Hijriyah saat usianya masih sangat muda.

Air mata Nabi mengalir saat kehilangan putranya. Kesedihan mendalam menggetarkan hati Nabi sebagai seorang ayah. Sahabat Abdurrahman bin Auf khawatir melihat tangisan Nabi dan berusaha menghiburnya. Nabi menjelaskan bahwa menangis adalah hal yang wajar dalam menghadapi kehilangan.

Nabi mendekati jenazah Ibrahim sambil menangis dan berpesan kepada sahabatnya untuk membiarkannya melihat jenazah putranya sebelum dimakamkan. Ia memakamkan Ibrahim di Baqi dengan hati yang hancur, meratakan tanah kuburan dan memberi tanda sebagai kenangan.

Ketika Ibrahim wafat, terjadi gerhana di Madinah, yang membuat para sahabat mengaitkan peristiwa tersebut dengan kematian Ibrahim. Namun, Nabi meluruskan anggapan tersebut dengan menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian seseorang.

Kebersamaan Nabi Muhammad dengan putranya tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun atau bahkan kurang. Namun, kasih sayangnya kepada ketiga putra ini sangat dalam. Kesedihan yang dirasakannya menunjukkan betapa besar cinta seorang ayah kepada anak-anaknya yang telah pergi.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

June 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?