Setiap sahabat Nabi Muhammad memiliki cerita unik dalam perjalanan mereka memeluk Islam. Di antara mereka, ada yang langsung menerima ajakan dari Nabi, seperti Abu Bakar as-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib. Ada pula yang tertarik setelah mendengar bacaan Al-Qur’an, seperti Umar bin Khattab. Selain itu, terdapat juga yang terkesan setelah berinteraksi dengan Nabi Muhammad, seperti Adi bin Hatim.
Adi bin Hatim, anak al-Jawwad, adalah pemimpin Suku at-Tha’i yang dikenal sebagai sosok yang pemurah. Namun, pada awalnya, ia merupakan penentang dakwah Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Ketika Islam mulai menyebar di jazirah Arab, Adi memilih untuk meninggalkan kaumnya dan pergi ke negeri Syam. Ia tetap mempertahankan agama nenek moyangnya dan enggan menjadi pengikut Nabi.
Dalam pernyataannya, Adi bin Hatim mengekspresikan kebenciannya terhadap Nabi Muhammad, namun di balik itu, ia menyimpan keraguan. Ia berujar bahwa jika Nabi Muhammad merupakan seorang raja atau pendusta, ia akan merasa takut. Namun, jika Nabi adalah orang yang benar, ia akan mengikutinya.
Suatu ketika, Adi bin Hatim memutuskan untuk menemui Nabi Muhammad dan pergi ke Madinah untuk mencari kebenaran. Setibanya di Masjid Nabawi, ia menyampaikan salam yang dijawab oleh Nabi. Setelah memperkenalkan diri, Nabi mengundangnya ke rumahnya yang berjarak dekat dari masjid. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang wanita tua yang meminta perhatian Nabi. Sang Nabi pun berhenti sejenak untuk mendengarkan keluhannya. Melihat sikap penuh perhatian ini, Adi merasa heran. Ia berpikir, bagaimana mungkin seorang raja bersikap demikian akrab dengan rakyatnya?
Keheranan Adi tidak berhenti di situ. Saat tiba di rumah Nabi, ia diberikan bantal untuk duduk sementara Nabi duduk di tanah tanpa bantal karena hanya ada satu. Sikap Nabi yang mengutamakan tamunya sangat berbeda dari apa yang biasanya dilakukan oleh para raja.
Sebagai seorang elit di kaumnya, Adi berharap mendapatkan perlakuan istimewa di kediaman Nabi, tetapi kenyataannya justru bertolak belakang. Apa yang ditemuinya jauh dari ekspektasinya; Nabi Muhammad ternyata bukanlah sosok ‘raja’ seperti yang dibayangkannya.
Setelah itu, terjadilah dialog antara Nabi Muhammad dan Adi bin Hatim. Ketika ditanya tentang Tuhan selain Allah, Adi tidak tahu jawabannya. Saat ditanya tentang agama yang dianutnya—Rukusiya, sebuah perpaduan antara Nasrani dan Shabiiyyah—Adi mengakui kebenaran pernyataan Nabi.
Nabi kemudian menjelaskan tiga hal yang menjadi penghalang bagi Adi untuk memeluk Islam. Pertama, umat Islam saat itu dianggap miskin. Nabi meyakinkan bahwa tidak lama lagi mereka akan memiliki kekayaan melimpah sehingga tidak ada yang akan hidup dalam kemiskinan. Hal ini terbukti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis ketika umat Islam hidup sejahtera.
Kedua, jumlah umat Islam sedikit dan musuh mereka lebih banyak. Terkait ini, Nabi menegaskan bahwa akan ada waktu ketika seorang wanita bisa bepergian sendirian dari Qadisiyyah ke Baitullah Makkah tanpa rasa takut. Perkataan ini pun menjadi kenyataan saat umat Islam berhasil menguasai daerah tersebut.
Ketiga, ketidakpercayaan Adi muncul karena raja dan penguasa bukan bagian dari umat Islam. Nabi berjanji bahwa segera ia akan mendengar berita mengenai istana-istana putih dari Babilonia yang berhasil ditaklukkan. Mendengar semua penjelasan ini, Adi bin Hatim akhirnya mengikrarkan diri untuk memeluk Islam.