Imam Ali bin Abi Thalib mengambil langkah berani dengan memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Tindakan ini menjadi sejarah baru, mengingat sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun tiga Khalifah awal: Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Langkah ini mencerminkan upaya Imam Ali untuk memisahkan urusan politik dan agama.
Latar belakang keputusan ini dimulai setelah terbunuhnya Khalifah Utsman pada 17 Juni 656. Meskipun berkuasa selama 12 tahun dan enam tahun pertamanya berjalan baik, situasi mulai memburuk seiring bertambahnya usia dan meluasnya kekuasaan Islam di luar jazirah Arab. Ketidakpuasan mulai muncul di kalangan masyarakat, dan pada akhirnya, Utsman dibunuh oleh pemberontak saat membaca Al-Qur’an di rumahnya.
Setelah pembunuhan tersebut, pemberontak dari Mesir menguasai Madinah selama lima hari. Jenazah Utsman baru bisa dimakamkan setelah tiga hari, dan bukan di dekat kuburan Nabi atau dua khalifah sebelumnya. Pada 24 Juni 656, Imam Ali dibai’at menjadi Khalifah keempat, meskipun sebelumnya ia menolak pemilihan tersebut.
Namun, tantangan segera muncul. Banyak sahabat Nabi yang berada di luar Madinah merasa tidak terwakili dalam pemilihan Imam Ali. Di antara mereka adalah Thalhah dan Zubair yang bergerak ke Mekkah. Siti Aisyah, istri Nabi, juga tinggal di Mekkah dan meminta penegakan keadilan terhadap pembunuh Utsman.
Imam Ali berusaha untuk menenangkan situasi, tetapi keengganannya untuk memenuhi tuntutan tersebut memicu tuduhan bahwa ia terlibat dalam pemberontakan yang mengakibatkan kematian Utsman. Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah kemudian bergerak ke Basrah untuk melawan Imam Ali.
Di Basrah, pasukan Khalifah Ali berjumlah 20 ribu, sedangkan pasukan Siti Aisyah mencapai 30 ribu. Pertempuran terjadi dan banyak umat Islam dari kedua belah pihak yang tewas, termasuk Thalhah dan Zubair. Setelah peperangan berakhir dengan kemenangan untuk Imam Ali, Siti Aisyah dikawal kembali ke Madinah dengan penghormatan.
Kondisi Madinah saat itu masih tidak stabil, dengan pendukung Utsman yang belum reda. Kembali ke Madinah bukanlah pilihan yang tepat bagi Imam Ali, begitu pula dengan Damaskus yang dikuasai Mu’awiyah dan Mekkah yang juga tidak aman karena Siti Aisyah berusaha memobilisasi dukungan dari sana.
Oleh karena itu, Imam Ali memutuskan untuk menetap di Kufah dan memindahkan ibu kota ke sana. Keputusan ini tidak hanya didasarkan pada situasi politik saat itu tetapi juga sebagai upaya untuk menjaga kesucian Madinah dari intrik politik. Pemindahan ibu kota ke Kufah memungkinkan Imam Ali untuk memisahkan simbol agama dari persoalan politik yang kian rumit.
Dengan memindahkan ibu kota ke Kufah, Imam Ali menjauhkan pusat pemerintahan dari potensi konflik yang dapat mencemari kesucian kota-kota suci seperti Mekkah dan Madinah. Empat bulan setelah pemindahan tersebut, perang saudara kedua pecah antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Khalifah Ali di Shiffin. Namun, Mekkah dan Madinah tetap aman dari konflik.
Keputusan Imam Ali untuk memindahkan ibu kota ke Kufah adalah langkah strategis yang bertujuan melindungi kesucian tempat-tempat suci umat Islam dari dampak politik yang tidak menentu.